Aku pernah menjadi dokter jaga UGD di rumah sakit Jiwa selama tiga tahun, sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Waktu itu, aku bekerja sebagai dokter part timer, sehingga selain jam jaga bisa nyambi di tempat lain. Sebagai dokter umum, memang masih belajar banyak hal mengenai penyakit “kegilaan” yang harus dipelajari. Dengan berjalannya waktu dan seiring dengan banyaknya pelatihan yang aku ikutin, perlahan tapi pasti kompetensi yang harus aku miliki sebagai dokter jaga UGD di Rumah Sakit Khusus Sakit Jiwa bisa aku kuasai. Jadi bukan kegilaan yang aku cari, tetapi kegilaan itu untuk mendapatkan penghasilan… hallah bukan itu. Maksudnya kegilaan pasien-pasien RSJ itu adalah suatu hal yang sangat menantang, plus lumayan untuk menopang pendapatan. He he he, sama aja.
Iya lho, waktu itu gaji dokter jaga di klinik 24 jam di Solo, uang duduk per delapan jam hanya 5000 rupiah plus 1000 rupiah per pasien, plus sekian ribu bila tindakan seperti menjahit kulit robek, khitan dan tindakan minor lainnya, itu pun tidak selalu ada. Nah kalo dari RSJ lumayan untuk menambah tambahan pendapatan sehingga bisa setara dengan jumlah gaji dokter PTT waktu itu yang hanya Rp. 500 ribu sebulan. Susah ya jadi dokter, sudah sekolah susah, ternyata gajinya cuman segitu. Itulah salah satu alasan mengapa aku harus nulis buku “Doctors Market Yourselves!” jadi dokter kalo mengandalkan gaji susah, apalagi tuntutan hidup jaman sekarang plus waspada tuntutan malpraktik! Kasihan ya jadi dokter… hiks hiks hiks
Kembali ke RSJ, walopun di RSJ sendiri, sebenarnya satu dua pasien merupakan kiriman dari departemen sosial alias gelandangan di jalan yang dirazia, dan banyak pula pasien yang ngemplang, tapi ga tahu ya gimana caranya manajemen kok masih bisa menggaji saya sebagai dokter jaga kontrak tahunan, seperti diriku ini. Mungkin itu hikmah dari suka nolongin orang, selalu ada rizki yang tidak dinyana-nyana.
Waktu itu siang jam 13.30, berarti masih ada waktu setengah jam untuk perjalanan menuju Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Dengan mengendarai sepeda motor prima tahun 90, sepeda motor milik mertua yang telah berubah jadi milikku dan istri juga, aku berangkat bekerja untuk menunaikan kewajibanku yang harus jaga pada shift siang. Kayak satpam, dokter juga ada shift kerjanya. Kalo shift siang, berarti mulai kerja dari jam 14.00 sampai jam 21.00, shift malam mulai kerja dari jam 21.00 sampai jam 7.00 pagi. Kalo shift pagi mulai jam 7.00 pagi sampai dengan 14.00 siang. Jaket yang aku pakai kerja juga milik istri, harap maklum aku ini anaknya petani yang rumahnya dijual untuk menjadikan tiga anaknya menjadi dokter dan dua lainnya menjadi insinyur. Sehingga bagi diriku waktu itu, sedikit sekali dan hampir tidak ada investasi untuk membeli jaket ato pakaian-pakaian bagus untuk meningkatkan citra diri dalam penampilan. Jaket itu berwarna hijau daun. Memakai kaca mata silinder (kaca mata silinder ini juga terbeli setelah dua tahun menjadi dokter lho) dan memakai helm, aku berangkat kerja. Hallah mas modale opo sampeyan? Niat kok…
OK kembali ke cerita…
Kalo boleh aku buat rute perjalanan dari rumahku sampai ke Rumah Sakit Jiwa Surakarta, begini… dari rumah kontrakan berada di desa Gonilan Kartasura (daerah dekat Universitas Muhamadiyah Surakarta dan Pondok Assalaam) terus ke utara…sampai hotel ken dedes.. terus ke kanan teruuuuusss…. Sampai prempatan Manahan…. Ke kiri…teruuuss terminal…. Terus sampai pertigaan serong ke kiri… menuju RS dr. Oen Kandang Sapi…. Nah… sampai di sini nih, ada sebuah bis jurusan Solo – Tawangmangu. Waktu itu posisiku di belakang bis ini. Kemudian lampu hijau menyala. Biasa kan. Namanya bis kalo jalan pas tanjakan. Pelan jalannya. Nah… aku coba salip dia. Eh… ternyata bisnya ga mau didahului. Permasalahannya ada di sini nih. Saat bis ga mau didahuluin, aku berada tepat di muara berhamburannya asap hitam dalam jumlah yang sangat besar. Ibaratnya aku dengan sepeda motor yang aku kendarai seperti sang pangeran yang menunggang kuda terbang, sedang berjalan di atas awan. Sayangnya aku sekarang tenggelam dalam asap tebal… aku tahan nafas, supaya saluran nafas dan paru-paru tidak menghirup racun yang berjumlah luar biasa besar itu. Akhirnya aku mengalah dan tidak berambisi lagi untuk mendahului bis tadi.
Akhirnya sampai juga di halaman parker RSJ Surakarta. Memarkirkan sepeda motor, dan menuju ruang jaga. Aku heran dengan para perawat yang senyum-senyum melihat kedatanganku.
“mbak, ada apa sih?” tanyaku penuh keheranan
“Masa dokter ga merasa?” gantian perawat RSJ itu menanyain aku juga penuh keheranan… dengan sisa senyum yang masih tersisa di sudut bibirnya
“Ga mbak, memang ada apa sih mbak?” aku juga tambah heran
“jenengan wajahnya jadi lucu… coba dokter lihat cermin… nanti kayak vampire cina!... ha ha ha” perawat itu langsung meledak ketawanya dan diikuti perawat lain. Waduh malu aku
Aku menuju cermin yang didepannya ada westafel…
Dan …. Aku terkejut dengan diriku sendiri
Ternyata kelopak mataku kehitaman, jadi asap solar bis tadi berputar-putar mengitari sebelah dalam …. Kalo lihat ini memang seperti vampire cina…. Yang ikut hitam lain, lubang hidung juga hitam… ini ketahuan saat ngupil… hallah..