Dalam hal praktik pribadi atau sering disebut solo practice, saya termasuk pelaku dan menyadari kesalahan saya tersebut. Praktik pribadi tunggal memang memiliki beberapa keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah kita adalah penentu tunggal kebijakan dalam segala hal yang berkaitan dengan operasionalisasi praktik. Mau buka praktik kapan, mau narik tariff berapa, mau menentukan target berapa pasien yang kita layani dan standar pelayanan semuanya terserah pada kita. Tetapi kekurangannya juga tidak kalah banyak. Saat terakhir ini saya menyadari sekali kekurangan itu. Ketika pasien-pasien sudah “maniak” dengan pelayanan kita, tetapi pada saat yang sama, kesibukan kita di luar praktik seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan banyaknya relasi dan semakin padatnya waktu sehingga jatah waktu keluarga semakin berkurang, maka praktik tunggal semakin menunjukkan kekurangannya. Bila kita berpikir lebih jauh lagi, apakah karier kita sebagai dokter hanya berhenti sampai disini, sebagai praktik tunggal seumur hidup. Demikian juga yang tidak kalah penting adalah kualitas layanan pada pasien yang kita berikan tentu akan sangat jauh berbeda dengan ketika melakukan praktik tunggal pertama kali.
Saat pertama kali buka praktik tunggal tentu akan memberikan perhatian sangat penuh. Masih merintis praktik, membangun “nama” atau orang pemasaran bilang sebagai “merek pribadi” dan tentu saja kesibukan masih relatif kurang, sehingga peran sebagai dokter keluarga yang memperhatikan pasien dari seluruh aspek hidupnya dapat diberikan secara utuh. Dokter muda tadi masih sempat melakukan kunjungan rumah, atau mendatangi rumah pasien manakala pasien tidak dapat datang ke tempat praktik.
Tetapi dengan berjalannya waktu, jumlah pasien makin banyak, bahkan ada beberapa teman sejawat dalam satu sesi praktik (jam 5 sore sampai jam 11 malam baru selesai) pasiennya bisa mencapai 100 pasien. Perhatiannya tidak sebanding saat pertama kali merintis praktik. Jangankan memperhatikan aspek keluarga pasien maupun keadaan rumah pasien, memperhatikan keluarga dan rumah sendiri saja sudah tidak ada waktu lagi. Dokter yang seperti ini secara psikologis tentu akan mudah jatuh pada kejenuhan. Sangat manusiawi kalau ia mudah jenuh, dan berada dalam posisi yang rawan mengalami kesalahan laten dalam pelayanan medis, berujung pada meningkatnya kejadian malpraktik. Seluruh waktunya hamper habis untuk praktik, praktik dan praktik. Maka tidak jarang keluarga dokter yang broken home, anak kurang perhatian, mudah jatuh pada pengguna obat dan sebagainya dan sebagainya.
Lain halnya bila sejak semula dokter berkolaborasi dengan teman-teman sejawatnya, mendirikan praktik bersama. Mereka saling share sumberdaya. Sumberdaya manusia ahli (dokter) mereka sendiri, share sumberdaya modal untuk dibelanjakan untuk sewa atau membeli tempat, membeli peralatan-peralatan diagnostik seperti rontgen sederhana, USG dan reagen-reagen laboratorium klinik serta kelengkapan administrasi yang sederhana sampai canggih seperti komputer beserta software pendukungnya. Dengan ketersedian berbagai sumber daya tersebut, pelayanan yang dihasilkan lebih komprehensif, lebih lama waktu pelayanannya karena dokter-dokter pendirinya bisa share waktu pelayanan, bisa 24 jam dan masing-masing dokter tidak akan kecapaian seperti yang saya alami akhir-akhir ini. Perhatian dokter dalam melayani pasien akan lebih utuh. Waktu dokter lebih luang demikian juga perhatian pelayanan yang customize pada pasien lebih bisa diberikan ketimbang dokter praktik tunggal. Maksud pelayanan yang customize adalah pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan individu setiap pasien. Saya ada contoh dari kolega dan dosen saya yang pernah kuliah di Filipina. Di sana jarang dijumpai dokter praktik tunggal, sebagian besarnya adalah praktik bersama. Seorang pasien yang beliau wawancarai bercerita, kalau dia periksa ke tempat praktik bersama, pasti pagi hari esoknya selalu ada telefon dari klinik tempat dia periksa. Dalam telefon itu ditanyai bagaimana kabar anaknya yang sakit, apakah sudah membaik atau belum, ditanya obatnya sudah diminum atau belum, dan bila belum membaik akan diingatkan agar kontrol lagi. Demikian juga dengan jadwal imunisasi untuk anak-anaknya selalu ada telefon dari klinik praktik dokter bersama yang mengingatkan, sehingga tidak ada jadwal imunisasi yang terlupakan. Semua ini bisa terlaksana dengan dukungan software komputer yang mendukung dan staf administrasi dan perawat yang mendukung pelayanan di klinik praktik dokter bersama itu.
Beberapa hal yang berbeda adalah leader dalam perawatan medis adalah dokter keluarga. Dokter spesialis berada dalam posisi sebagai dokter konsulen. Ketika ada konsul dari dokter keluarga, dokter spesialis dan dokter keluarga memeriksa bersama-sama pasien tersebut, mendiskusikan kondisi pasien, pemeriksaan laboratorium dan pengobatan yang telah diberikan dan memberikan advisnya. Dengan visite dan diskusi bersama ini, tidak akan dijumpai pengobatan atau pemeriksaan ganda pada pasien, sehingga perawatan medis benar-benar efisien.
Melihat contoh di Filipina tersebut, ternyata praktik dokter bersama memberikan keuntungan yang luar biasa bagi dokter. Dokter lebih professional bekerja dan waktu luang dokter untuk keluarga lebih banyak dan dokter lebih banyak mengalokasikan waktu untuk perkembangan karier pribadinya. Cuma ada hal mendasar yang harus diperhatikan ketika pertama kali mendirikan praktik dokter bersama, yaitu kesepakatan yang jelas di awal pendirian klinik tersebut, seperti kepemilikan, pembagian keuntungan serta pembagian wewenang, hak dan tanggung jawab masing-masing pendiri. Kesepakatan yang jelas hingga ke unsur-unsur detil arus benar-benar disepakati dan tertulis hitam putihnya di depan otoritas hukum seperti notaris untuk mencegah konflik kepentingan di kemudian hari. Kan dokter juga manusia.
Wallaahua’lam