Palestina. Mendengar namanya kita akan teringat sebuah wilayah yang penuh gejolak historis dan fundamentalisme ideologi. Tiga agama samawi terbesar dan paling berpengaruh di dunia (Islam, Nasrani dan Yahudi) menjadikannya sebagai sentral peribadatan dan area geografis yang disucikan.
Semangat untuk menjadikan Palestina sebagai domain eksistensi doktrin tertentu selalu menjadi pangkal permasalahan mengapa tanah suci ini selalu berpeluh darah dan bersimbah keringat pejuang militan dari ketiga ideologi di atas. Tanah kelahiran Yesus, kiblat pertama ummat Islam, dan tanah yang dijanjikan (the promised land) adalah slogan dan simbol yang selalu terpancang dengan kuat di sanubari petarung-petarung ideologis ini.
Ada semacam teori yang tidak tertulis, bahwa siapapun yang mengelola dan menguasai Palestina, alamat merekalah yang akan berperan besar dalam perubahan arah hidup umat manusia sedunia. Hal ini telah disepakati secara sadar maupun tidak sadar oleh realitas sejarah. Hijrah besar-besaran bangsa Yahudi dari Mesir ke Palestina, Perang Nabi Daud AS versus Jalut (David vs Goliath), Pembebasan Palestina oleh Umar ibnu Khattab, Perang Salib (Crusade War), dan terakhir Gerakan Zionisme Israel mendukung teori ini.
Makna Isra Mikraj dan Palestina kepada eksternal Islam
Menyebut kata Isra’ dan Mikraj mau tidak mau kita ”dipaksa” teringat dengan Palestina. Tanpa mengesampingkan urgensi pemaknaan yang lain, banyak ahli sirah (sejarah islam) yang menyebutkan bahwa salah satu hikmah penting peristiwa Isra adalah sebagai tonggak awal pelimpahan wewenang kepemimpinan agama Allah dari kaum Yahudi kepada kaum muslimin yang dalam hal ini diwakili oleh klan Quraisy dari bangsa Arab. Peristiwa perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina merupakan salah satu isyarat dari Allah Azza Wa Jalla bahwa bangsa Israil telah gagal menjalankan amanat kepemimpinan agama. ”Reshuffle” ini kemudian semakin dipertegas dengan dipindahkannya kiblat umat islam yang semula menghadap ke Masjidil Aqsha beralih menghadap Masjidil Haram.
Selain sebagai penguji keimanan para pengikut awal (as-sabiqunal awwalun) Islam serta penafsiran diatas. Peristiwa Isra dan Mikraj juga memperlihatkan ada kaitan religiusitas antara Nabi dari kalangan Yahudi (mulai Nabi Ishak AS sampai Nabi Isa AS) dengan ajaran yang di bawa oleh Muhammad bin Abdullah SAW. Ada semacam penegas bahwa Tuhan yang berbicara kepada Nabi Musa AS di bukit Thursina adalah sama dengan Tuhan yang menurunkan kitab Zabur dan Injil serta tidak berbeda dengan Tuhan yang mewahyukan nubuwwah kepada Muhammad SAW di Gua Hira. Seolah-olah Allah SWT ingin menunjukkan kepada pengikut agama terdahulu bahwa Muhammad SAW adalah penerus mandat ilahi selanjutnya.
Ada sebuah fakta yang cukup unik sebagai pembuktian analisa di atas bahwa ternyata sebelum terjadinya peristiwa Isra dan Mikraj bahkan sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai mandataris ilahi, ternyata interaksi antara beliau dengan kebudayaan-kebudayaan dengan langgam budaya supraposisi seperti Romawi, Yunani dan Persia jarang terjadi. Rasul SAW tidak pernah menjalin komunikasi secara intensif dengan seorang pendeta Nasrani atau seorang Rabbi Yahudi, kalaupun ada hanyalah kebetulan dan sepintas lalu. Seperti peristiwa bertemunya beliau dengan Pendeta Bukhaira sewaktu berdagang bersama pamannya ke Syam. Bahkan untuk sempat mendengar dan membaca literatur-literatur klasik agama samawi terdahulu beliau tidak sempat melakukannya, karena di Arab pada saat itu tidak mempunyai sebuah perpustakaan ditambah lagi beliau adalah orang yang sama sekali buta huruf.
Adalah sebuah fenomena menarik jika seorang ummi (buta huruf) di bangsa Arab pada abad ke tujuh masehi seperti Muhammad SAW dapat menceritakan dengan gamblang, rinci serta akurat tentang peristiwa Nabi Yusuf AS, dakwah Musa AS kepada Fira’un, kisah Ashabul Kahfi, percakapan antara Ibrahim dan Azar bapaknya, dan lain sebagainya. Yang notabene kisah-kisah ini hanya populer di kalangan agama samawi terdahulu dan sangat asing di telinga orang-orang yang sezaman dan segeografis dengan beliau. Orang-orang Arab pada waktu itu masih terisolasi dan hanya tertarik dengan cerita-cerita kepahlawanan bangsa mereka, dibanding mendengarkan dan menelaah seruan-seruan pendeta Yahudi dan Nasrani. Lantas darimana Muhammad SAW mendapatkan referensi semua cerita-cerita tersebut? Apakah mungkin beliau mengarang dan mereka-reka sebuah cerita yang masih sangat asing bagi kaum dan bangsanya? Dalam ajaran islam, fenomena inilah yang disebut dengan wahyu. Dan variabel ini juga menjadi salah satu mukjizat pembuktian bahwa beliau adalah benar-benar sebagai ”sang pembawa pesan dari langit”.
Makna Internal Isra Mikraj buat Islam
Bangsa Arab di abad ke-7 Masehi masih terkungkung dalam perasaan inferior dan ketidakpercayaan diri. Mereka merasa kerdil karena tidak memiliki latar belakang ideologis dan peran dalam peradaban dunia yang semegah dan sehebat bangsa Israil. Mereka merasa lebih dekat secara emosional dengan bangsa Persia yang penyembah api karena latar pemahaman politheisme yang serupa tapi tak sama. Bangsa Israil dianggap asing karena latar belakang ideologi yang jauh berbeda dengan konsep agama wahyu yang relatif monotheisme.
Kemudian terjadilah peristiwa Isra dan Mikraj ini. Maka jika ditilik lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa peristiwa Isra (khususnya) dan Mikraj bukanlah sebuah tragedi kebetulan dan aksidental. Tapi peristiwa ini pastilah memiliki skenario yang sangat rapi terskematis secara faktual dan argumentatif. Kita akan menemukan sebuah keterikatan mendalam antara dua buah kota suci dan dua buah sentrum religi yaitu Makkah dan Yerusalem serta Ka’bah dan Al Quds. Dua faktor ini menunjukkan ”pilihan yang matang dari langit” dalam rangka menegaskan penerus tugas selanjutnya untuk membimbing manusia menuju fitrah keberagamaan yang sejati.
Internalisasi pemahaman yang menuntut sebuah kesadaran baru kepada bangsa Arab di kala itu, akan adanya sebuah kultur yang secara paternalistik memiliki hubungan erat dari sesama keturunan Ibrahim AS nun jauh di Palestina sana. Peristiwa Isra Mikraj ini, menyentakkan kembali bangsa Arab yang sebelumnya teralienasi dari hiruk-pikuk keramaian jajanan ketuhanan yang selama ini didominasi oleh bangsa Yahudi dan Romawi. Bahwa mereka ternyata bukanlah orang asing di kancah peradaban dunia ini. Mereka adalah keturunan Ismail AS yang tidak kalah mulia dan terhormat serta pantas untuk mengimbangi arogansi bangsa Yahudi ketika itu, yang mengklaim bahwa merekalah bangsa yang dipilih oleh Tuhan. Sehingga jikalau ada bangsa yang pantas untuk menggantikan posisi Yahudi (yang telah dikaruniai banyak nabi dan rasul) dari singgasana ”kepemimpinan agama” maka bangsa Arablah orangnya. Setidaknya kepercayaan diri inilah yang ingin dimunculkan oleh Allah SWT melalui peristiwa Isra dan Mikraj. Allah SWT ingin memuliakan bangsa Arab bahwa mereka pantas dan layak untuk meneruskan tugas agung pengemban risalah ketuhanan ini.
Palestina haruskah tercemari?
Kalau kita melihat hikmah yang terpapar diatas, maka pertanyaan yang muncul kemudian bisa saja beraneka ragam di benak kita. Akan tetapi diantara pertanyaan yang banyak itu penulis hanya ingin mengemukakan pertanyaan yang terkait dengan judul diatas. Pertanyaan tersebut adalah ; apakah pantas Palestina yang seharusnya menjadi ruang pertemuan antara dua bangsa yang masih terhitung ”sepupu” tercemari oleh genangan darah dari kedua belah pihak?
Menjawab pertanyaan ini, maka Islam telah mentolerirnya dengan sangat bijaksana. Di dalam Alqur’an, agama Yahudi dan Nasrani tidak serta merta disamaratakan dengan penyembah berhala Latta dan Uzza. Penganut Yahudi dan Nasrani selalu di seru dengan gelaran ”Ahlul Kitab” berarti orang-orang yang telah diberikan kitab terdahulu berupa Injil dan Taurat. Sebuah gelaran yang santun dan sangat menekankan persamaan, dimana Allah SWT sangat mengharapkan agar dengan sebutan ahlul kitab ini orang-orang yang di seru terketuk hatinya dan mau memandang Islam secara adil. Adapun kecaman yang muncul di dalam Alqur’an semata-mata karena sang ahlul kitab tidak objektif memandang Islam dan menyembunyikan fakta di dalam kitab-kitab terdahulu.
Apakah ungkapan pernyataan diatas hanyalah retorika yang hampa dari aksi yang nyata? Ternyata tidak! Sejarah mencatat ketika Khalifah Umar Al Farouq atau Sultan Shalahuddin Al Ayyubi membebaskan Palestina, maka umat dari berbagai macam agama merasakan sebuah ketentraman. Kebijaksanaan penguasa Islam dalam menempatkan kota suci Palestina telah diakui oleh seantero dunia. Salah satu pengakuan yang paling sederhana dan terkini bisa kita temukan dalam film Kingdom Of Heaven yang dibintangi oleh Orlando Bloom.
Kemudian datanglah gerakan Zionis yang berusaha untuk meluluhlantakkan ketenangan yang selama ini terasa di Palestina. Gerakan ini senantiasa berusaha untuk mengenyahkan salah satu etnis (arab/Islam) dalam mencapai tujuannya. Seharusnya jika bangsa Israil tidak mengedepankan egoisme doktrinnya dan memandang dengan ikhlas, bahwa ternyata bangsa Arab masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan mereka maka tragedi berdarah inipun akan terhenti. Cuma mungkin faktor ini telah tergerus oleh realita sejarah bahwa mereka adalah bangsa yang terusir dari Timur Tengah (peristiwa Khaibar) oleh khalifah Umar. Padahal pengusiran itu merupakan akibat dari pengkhianatan yang dilakukan oleh bangsa Israil sendiri. Merujuk pada hikmah peristiwa Isra dan Mikraj, seharusnya tidak boleh ada sekat yang menghalang silaturrahim kedua bangsa dan agama ini. Karena mereka berasal dari satu bapak, satu nenek moyang yaitu Ibrahim AS.
Mungkin ajakan ini terasa sangat naif dan utopis, tetapi sebagai insan yang sudah jengah dan bosan terhadap kepongahan satu umat tertentu kepada umat yang lain maka ajakan ini patut kita renungi bersama. Wallahu ’Alamu Bisshowab.
Ada semacam teori yang tidak tertulis, bahwa siapapun yang mengelola dan menguasai Palestina, alamat merekalah yang akan berperan besar dalam perubahan arah hidup umat manusia sedunia. Hal ini telah disepakati secara sadar maupun tidak sadar oleh realitas sejarah. Hijrah besar-besaran bangsa Yahudi dari Mesir ke Palestina, Perang Nabi Daud AS versus Jalut (David vs Goliath), Pembebasan Palestina oleh Umar ibnu Khattab, Perang Salib (Crusade War), dan terakhir Gerakan Zionisme Israel mendukung teori ini.
Makna Isra Mikraj dan Palestina kepada eksternal Islam
Menyebut kata Isra’ dan Mikraj mau tidak mau kita ”dipaksa” teringat dengan Palestina. Tanpa mengesampingkan urgensi pemaknaan yang lain, banyak ahli sirah (sejarah islam) yang menyebutkan bahwa salah satu hikmah penting peristiwa Isra adalah sebagai tonggak awal pelimpahan wewenang kepemimpinan agama Allah dari kaum Yahudi kepada kaum muslimin yang dalam hal ini diwakili oleh klan Quraisy dari bangsa Arab. Peristiwa perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina merupakan salah satu isyarat dari Allah Azza Wa Jalla bahwa bangsa Israil telah gagal menjalankan amanat kepemimpinan agama. ”Reshuffle” ini kemudian semakin dipertegas dengan dipindahkannya kiblat umat islam yang semula menghadap ke Masjidil Aqsha beralih menghadap Masjidil Haram.
Selain sebagai penguji keimanan para pengikut awal (as-sabiqunal awwalun) Islam serta penafsiran diatas. Peristiwa Isra dan Mikraj juga memperlihatkan ada kaitan religiusitas antara Nabi dari kalangan Yahudi (mulai Nabi Ishak AS sampai Nabi Isa AS) dengan ajaran yang di bawa oleh Muhammad bin Abdullah SAW. Ada semacam penegas bahwa Tuhan yang berbicara kepada Nabi Musa AS di bukit Thursina adalah sama dengan Tuhan yang menurunkan kitab Zabur dan Injil serta tidak berbeda dengan Tuhan yang mewahyukan nubuwwah kepada Muhammad SAW di Gua Hira. Seolah-olah Allah SWT ingin menunjukkan kepada pengikut agama terdahulu bahwa Muhammad SAW adalah penerus mandat ilahi selanjutnya.
Ada sebuah fakta yang cukup unik sebagai pembuktian analisa di atas bahwa ternyata sebelum terjadinya peristiwa Isra dan Mikraj bahkan sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai mandataris ilahi, ternyata interaksi antara beliau dengan kebudayaan-kebudayaan dengan langgam budaya supraposisi seperti Romawi, Yunani dan Persia jarang terjadi. Rasul SAW tidak pernah menjalin komunikasi secara intensif dengan seorang pendeta Nasrani atau seorang Rabbi Yahudi, kalaupun ada hanyalah kebetulan dan sepintas lalu. Seperti peristiwa bertemunya beliau dengan Pendeta Bukhaira sewaktu berdagang bersama pamannya ke Syam. Bahkan untuk sempat mendengar dan membaca literatur-literatur klasik agama samawi terdahulu beliau tidak sempat melakukannya, karena di Arab pada saat itu tidak mempunyai sebuah perpustakaan ditambah lagi beliau adalah orang yang sama sekali buta huruf.
Adalah sebuah fenomena menarik jika seorang ummi (buta huruf) di bangsa Arab pada abad ke tujuh masehi seperti Muhammad SAW dapat menceritakan dengan gamblang, rinci serta akurat tentang peristiwa Nabi Yusuf AS, dakwah Musa AS kepada Fira’un, kisah Ashabul Kahfi, percakapan antara Ibrahim dan Azar bapaknya, dan lain sebagainya. Yang notabene kisah-kisah ini hanya populer di kalangan agama samawi terdahulu dan sangat asing di telinga orang-orang yang sezaman dan segeografis dengan beliau. Orang-orang Arab pada waktu itu masih terisolasi dan hanya tertarik dengan cerita-cerita kepahlawanan bangsa mereka, dibanding mendengarkan dan menelaah seruan-seruan pendeta Yahudi dan Nasrani. Lantas darimana Muhammad SAW mendapatkan referensi semua cerita-cerita tersebut? Apakah mungkin beliau mengarang dan mereka-reka sebuah cerita yang masih sangat asing bagi kaum dan bangsanya? Dalam ajaran islam, fenomena inilah yang disebut dengan wahyu. Dan variabel ini juga menjadi salah satu mukjizat pembuktian bahwa beliau adalah benar-benar sebagai ”sang pembawa pesan dari langit”.
Makna Internal Isra Mikraj buat Islam
Bangsa Arab di abad ke-7 Masehi masih terkungkung dalam perasaan inferior dan ketidakpercayaan diri. Mereka merasa kerdil karena tidak memiliki latar belakang ideologis dan peran dalam peradaban dunia yang semegah dan sehebat bangsa Israil. Mereka merasa lebih dekat secara emosional dengan bangsa Persia yang penyembah api karena latar pemahaman politheisme yang serupa tapi tak sama. Bangsa Israil dianggap asing karena latar belakang ideologi yang jauh berbeda dengan konsep agama wahyu yang relatif monotheisme.
Kemudian terjadilah peristiwa Isra dan Mikraj ini. Maka jika ditilik lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa peristiwa Isra (khususnya) dan Mikraj bukanlah sebuah tragedi kebetulan dan aksidental. Tapi peristiwa ini pastilah memiliki skenario yang sangat rapi terskematis secara faktual dan argumentatif. Kita akan menemukan sebuah keterikatan mendalam antara dua buah kota suci dan dua buah sentrum religi yaitu Makkah dan Yerusalem serta Ka’bah dan Al Quds. Dua faktor ini menunjukkan ”pilihan yang matang dari langit” dalam rangka menegaskan penerus tugas selanjutnya untuk membimbing manusia menuju fitrah keberagamaan yang sejati.
Internalisasi pemahaman yang menuntut sebuah kesadaran baru kepada bangsa Arab di kala itu, akan adanya sebuah kultur yang secara paternalistik memiliki hubungan erat dari sesama keturunan Ibrahim AS nun jauh di Palestina sana. Peristiwa Isra Mikraj ini, menyentakkan kembali bangsa Arab yang sebelumnya teralienasi dari hiruk-pikuk keramaian jajanan ketuhanan yang selama ini didominasi oleh bangsa Yahudi dan Romawi. Bahwa mereka ternyata bukanlah orang asing di kancah peradaban dunia ini. Mereka adalah keturunan Ismail AS yang tidak kalah mulia dan terhormat serta pantas untuk mengimbangi arogansi bangsa Yahudi ketika itu, yang mengklaim bahwa merekalah bangsa yang dipilih oleh Tuhan. Sehingga jikalau ada bangsa yang pantas untuk menggantikan posisi Yahudi (yang telah dikaruniai banyak nabi dan rasul) dari singgasana ”kepemimpinan agama” maka bangsa Arablah orangnya. Setidaknya kepercayaan diri inilah yang ingin dimunculkan oleh Allah SWT melalui peristiwa Isra dan Mikraj. Allah SWT ingin memuliakan bangsa Arab bahwa mereka pantas dan layak untuk meneruskan tugas agung pengemban risalah ketuhanan ini.
Palestina haruskah tercemari?
Kalau kita melihat hikmah yang terpapar diatas, maka pertanyaan yang muncul kemudian bisa saja beraneka ragam di benak kita. Akan tetapi diantara pertanyaan yang banyak itu penulis hanya ingin mengemukakan pertanyaan yang terkait dengan judul diatas. Pertanyaan tersebut adalah ; apakah pantas Palestina yang seharusnya menjadi ruang pertemuan antara dua bangsa yang masih terhitung ”sepupu” tercemari oleh genangan darah dari kedua belah pihak?
Menjawab pertanyaan ini, maka Islam telah mentolerirnya dengan sangat bijaksana. Di dalam Alqur’an, agama Yahudi dan Nasrani tidak serta merta disamaratakan dengan penyembah berhala Latta dan Uzza. Penganut Yahudi dan Nasrani selalu di seru dengan gelaran ”Ahlul Kitab” berarti orang-orang yang telah diberikan kitab terdahulu berupa Injil dan Taurat. Sebuah gelaran yang santun dan sangat menekankan persamaan, dimana Allah SWT sangat mengharapkan agar dengan sebutan ahlul kitab ini orang-orang yang di seru terketuk hatinya dan mau memandang Islam secara adil. Adapun kecaman yang muncul di dalam Alqur’an semata-mata karena sang ahlul kitab tidak objektif memandang Islam dan menyembunyikan fakta di dalam kitab-kitab terdahulu.
Apakah ungkapan pernyataan diatas hanyalah retorika yang hampa dari aksi yang nyata? Ternyata tidak! Sejarah mencatat ketika Khalifah Umar Al Farouq atau Sultan Shalahuddin Al Ayyubi membebaskan Palestina, maka umat dari berbagai macam agama merasakan sebuah ketentraman. Kebijaksanaan penguasa Islam dalam menempatkan kota suci Palestina telah diakui oleh seantero dunia. Salah satu pengakuan yang paling sederhana dan terkini bisa kita temukan dalam film Kingdom Of Heaven yang dibintangi oleh Orlando Bloom.
Kemudian datanglah gerakan Zionis yang berusaha untuk meluluhlantakkan ketenangan yang selama ini terasa di Palestina. Gerakan ini senantiasa berusaha untuk mengenyahkan salah satu etnis (arab/Islam) dalam mencapai tujuannya. Seharusnya jika bangsa Israil tidak mengedepankan egoisme doktrinnya dan memandang dengan ikhlas, bahwa ternyata bangsa Arab masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan mereka maka tragedi berdarah inipun akan terhenti. Cuma mungkin faktor ini telah tergerus oleh realita sejarah bahwa mereka adalah bangsa yang terusir dari Timur Tengah (peristiwa Khaibar) oleh khalifah Umar. Padahal pengusiran itu merupakan akibat dari pengkhianatan yang dilakukan oleh bangsa Israil sendiri. Merujuk pada hikmah peristiwa Isra dan Mikraj, seharusnya tidak boleh ada sekat yang menghalang silaturrahim kedua bangsa dan agama ini. Karena mereka berasal dari satu bapak, satu nenek moyang yaitu Ibrahim AS.
Mungkin ajakan ini terasa sangat naif dan utopis, tetapi sebagai insan yang sudah jengah dan bosan terhadap kepongahan satu umat tertentu kepada umat yang lain maka ajakan ini patut kita renungi bersama. Wallahu ’Alamu Bisshowab.