Seorang anak kecil, laki-laki, berusia 3 tahun dengan berat badan 20 kg, termasuk gemuk untuk ukuran anak seusianya, datang di tempat dokter spesialis anak senior dengan keluhan demam hilang timbul dalam satu tahun terakhir. Kedua orang tua anak laki-laki kecil ini dapat dikatakan tidak kurang-kurangnya mengupayakan kesembuhan bagi sang buah hati kesayangan mereka. Bahkan sudah maksimal dan sudah melampaui batas psikologis kesabaran dimana usaha yang mati-matian ternyata tidak juga membuahkan hasil yang diharapkan yaitu kesembuhan bagi putra kesayangan mereka sematawayang. Berbagai dokter sudah mereka datangi, baik Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Semarang, Surabaya dan bahkan sudah memeriksakan ke Singapura namun tidak pula membuahkan kesembuhan. Setiap hari anak mereka dalam keadaan demam, minimal demam ringan terkadang pula demam tinggi. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana risaunya kedua orang tua anak ini. Kedua anak saya kalau demam hanya sehari dua hari saja, padahal saya dan istri walaupun sama-sama dokter tetap dilingkupi suasana risau dan gelisah. Jangan-jangan sakit ini, jangan-jangan sakit itu atau mudah-mudahan ga seperti itu atau seperti ini. Sungguh berat ujian yang diberikan Allah SWT kepada kedua orang tua ini.
Saat datang ke dokter spesialis anak senior ini, semua data yang dicurigai sebagai penyebab munculnya demam lama yang tidak turun-turun dapat dikatakan sudah lengkap, mulai pemeriksaan darah sederhana, pemeriksaan sumsum tulang untuk kecurigaan adanya kanker darah atau leukemia, pemeriksaan imunologi untuk kemungkinan virus sitomegalo, toksoplasma, herpes simpleks, rubella bahkan HIV sudah tersedia. Berbagai macam terapi sudah dijalani, berbagai antibiotik sudah diberikan dan obat turun panas selalu menyertai setiap anak berkunjung ke dokter.
Kedua orang tua anak laki-laki kecil nan lucu ini, akhirnya pasrah, sampai-sampai berkesimpulan mungkin anak laki-laki sematawayang mereka suhu normalnya di atas rata-rata orang normal. Namun, mereka tetap pantang menyerah, hingga akhirnya mereka menemui seorang dokter spesialis anak yang senior ini. Walaupun sudah senior, penyakit yang diderita anak laki-laki kecil ini, masih di luar pengalaman dan memori beliau, dan tetap membuat beliau ini heran dan tidak habis mengerti. Beliau akhirnya memutuskan anak diopname-kan anak di rumah sakit tanpa diberikan infus sama sekali. Darah sang anak diambil untuk dilakukan pemeriksaan rutin. Hasilnya hanya mendapatkan jumlah sel darah putih secara umum diatas normal, tetapi tidak terlalu tinggi. Berbagai analisa penyebab sakit anak laki-laki kecil ini tetap berakhir buntu karena semuanya sudah terbantahkan oleh data-data laboratorium yang sudah di bawa oleh kedua orang tua anak saat kontrol. Akhirnya terbersit dalam pikirannya kayaknya belum ada terapi yang diarahkan ke tuberkulosis, walaupun dari pemeriksaan rontgen paru normal. Dengan memulai lafaz basmalah, beliau memulai terapi tuberkulosis untuk sang anak ini. Beliau meminta kedua orang tua untuk bersabar menunggu untuk opname seminggu lagi untuk memantau perkembangan terapi untuk anak mereka. Dan....
Luar biasa, setelah tepat hari ketujuh pengobatan tuberkulosis untuk anak ini, demam sang anak turun dan anak bisa berkeringat dan bertahan lama hingga tiga bula sesudahnya saat cerita ini ditulis.
Dalam buku teks kedokteran, penyakit tuberkulosis baik pada anak dan dewasa secara klasik digambarkan penderita datang dengan berat badan turun drastis, pemeriksaan dahak terutama pada remaja dan dewasa yang sudah bisa mengeluarkan dahak terdapat bakteri tahan asam atau kuman mycobacterium tuberculosis, keringat dingin di malam hari, batuk lebih dari tiga minggu, demam ringan terutama pada malam hari, pemeriksaan radiologis khas terdapat gambaran tuberkulosis terutama di daerah atas (apeks) paru, pemeriksaan laju endap darah sangat tinggi dan sebagainya. Namun pada anak laki-laki gemuk ini semua gejala dan tanda seperti yang tertulis di dalam buku teks kedokteran tidak terdapat. Walaupun sudah dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana hingga yang canggih, termasuk pemeriksaan rontgen paru dan pemeriksaan yang lainnya, dan sudah diperiksa oleh berbagai macam dokter dengan standar keahlian yang tidak diragukan, ternyata permasalahan utama diagnosis untuk anak ini dapat ditemukan setelah upaya “tebak-tebakan” dan “kenekatan” mencoba terapi dan baru menunjukkan hasil.
Dalam sebuah novel yang berjudul “doctors” karya Erich Segal, ada sebuah cerita menarik, yaitu di bagian awal saat menceritakan sambutan dari dekan fakultas kedokteran universitas Harvard. Diceritakan bahwa sang dekan menuliskan angka 26 di papan tulis, kemudian suasana hening, kemudian sang dekan berbicara, “dalam praktik kedokteran hanya ada 26 diagnosis penyakit yang pasti, sisanya yang berjumlah 20 ribuan adalah duga menduga”. Seolah kasus anak laki-laki kecil di atas seperti mengungkapkan bukti fakta mengenai apa yang diomongkan oleh sang dekan dalam novel tersebut.
Dalam kehidupan profesional saya dalam sepuluh tahun menjadi dokter, saya menjumpai kasus yang mungkin bisa dikategorikan sebagai duga menduga dan dapat pula dikategorikan sebagai kasus di luar kebanyakan.
Seorang wanita umur 50 tahun, datang kepada saya dengan keluhan kedua matanya terasa kering dan sekali waktu gatal-gatal serta yang pasti kemerahan. Beliau mengaku apa yang dikeluhkan ini terjadi sekitar satu tahun terakhir. Sudah diperiksakan kemana-mana, baik dokter umum, dokter mata dan dokter-dokter yang lain. Hasilnya tetap saja tidak ada perubahan, bahkan beberapa bulan terakhir keluhan ditambah dengan ketombe yang makin hari makin hebat.
Saat datang ke tempat praktik, saya perhatikan conjunctiva (selaput jaringan yang melapisi bagian putih mata) memerah seperti orang belekan, tetapi tidak ada kotorannya yang menandakan adanya infeksi bakterial.
“rasanya gimana bu?”
“ya itu dok, pedes, kering kayak ga ada pelumasnya sama sekali”
“sudah berapa lama”
“sudah lama dok, satu tahunan ini”
“tidak blobokan?”
“tidak dok”
“termasuk pagi hari saat bangun tidur”
“iya”
“gatal bu?
“kadang-kadang gatalnya banget, kadang-kadang tidak”
“tapi selalu gatal?”
“iya dokter”
“terus-terusan bu gatal dan kemerahannya?”
“iya”
Kemudian saya perhatikan kepala ibu tersebut, ternyata terdapat “pulau-pulau” bersisik di puncak kepala dan sebagian sisik-sisik itu rontok menjadi ketombe. Seperti biasa saya tanya-tanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada penyakit jamur kepala, seperti apakah gatal makin hebat pada saat berkeringat atau udara panas, atau pada saat kepala tertutup oleh penutup kepala. Ditanya pula dengan pertanyaan mengenai riwayat penyakit diabetes melitus, termasuk pemeriksaan laboratorium darah terakhir, semua hasilnya normal.
Saat menanya-nanyain pasien dengan berbagai pertanyaan dan melakukan pemeriksaan fisik, saya tertarik dengan penampilan kuku tangan pasien ini. Akhirnya perhatian saya saat itu, tertuju pada penampakan kuku tangan pasien. Ada tiga kuku pasien yang mengalami kelainan dan kelaiannya menunjukkan kecurigaan yang besar untuk penyakit jamur kuku.
Di akhir sesi pemeriksaan ibu, saya memberikan resep untuk mengobati “alergi” di bagian mata dengan kortikosteroid dan antihistamin untuk diminum dan kortikosteroid topikal, ditambah dengan obat anti jamur diminum (griseofulvin 500mg selama 2 minggu berturut-turut dan jeda istirahat 1 minggu) dan obat jamur topikal berbentuk kuteks (Loprox nail lacquaererTM sesuai petunjuk pemakaian 3x per minggu dalam 1 bulan pertama, 2x per minggu dalam 1 bulan kedua dan 1x per minggu dalam 1 bulan ketiga). Sedangkan untuk mengobati ketombenya, saya tambahkan obat topikal selsun shampooTM orange satu botol 60 cc hingga habis, setelah itu disambung dengan selsun shampooTM blue untuk maintenance.
Pada saat kontrol 1 bulan selanjutnya, pasien sangat berterimakasih kepada saya, karena untuk pertama kalinya dia merasa matanya sangat lega, obat tetes mata itu hanya dipakai untuk seminggu saja. Ketombenya pertama kali sepanjang dia didera sakit, dan kukunya perlahan-lahan mulai menampakkan bentuk yang normal, tidak kehitaman lagi.
Yang membuat saya berkesan adalah mata merah kering dan gatal yang bertahan satu tahun lebih karena penyakit jamur kuku yang ada di tangannya, suatu hubungan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Jadi untuk kasus saya ini, jangankan melakukan praduga, menduga saja tidak pernah terpikirkan. Karena kasus ini tidak pernah saya baca di buku teks kedokteran atau disajikan dijurnal atau seminar. Wallahua’lam.