ditulis oleh : Yusuf Alam Romadhon#
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Health & Hospital bulan April 2007
Sebaik-baik tempat = masjid, seburuk-buruk tempat = pasar
Dalam sebuah bukunya “Budaya dan Masyarakat”, ada satu bab dengan tema Masjid atau Pasar: Akar Ketegangan Budaya di Masa Pembangunan, Alm. Kuntowijoyo, menyitir sebuah hadits “Sebaik-baik tempat ialah masjid-masjid dan sejelek-jelek tempat ialah pasar-pasar. Selanjutnya beliau mencoba menanyakan mengapa pasar disebut sejelek-jelek tempat, padahal di hadits yang lain memuji jual beli yang jujur dan baik. Sebaik-baik penghasilan adalah dari hasil jerih payah sendiri. Pertanyaan mengerucut pada “Jika perdagangan dan industri merupakan pekerjaan yang dimuliakan, dalam kedudukan apa “pasar” itu menjadi “tempat yang sejelek-jeleknya”? Kemudian beliau mencoba menafsirkan bahwa Masjid adalah simbol dari agama sedangkan pasar adalah simbol dari kepentingan ekonomi. Dan dalam perkembangan peradaban manusia, dua-duanya ternyata mempunyai peran penggerak peradaban.1
Perkembangan terkini telah ditunjukkan kepada kita betapa kuatnya pengaruh pasar pada penyelenggaraan layanan kesehatan. Hal ini terlihat dari berubahnya badan hukum rumah sakit yang semula sebagai yayasan non profit menjadi perseroan terbatas. Di sini terdapat perbedaan orientasi yang mendasar antara dinamika organisasi rumah sakit yang digerakkan oleh pasar modal dan organisasi rumah sakit yang digerakkan oleh misi sosial atau misi masjid yang lebih bersifat sosio-religio-spiritual. Pada organisasi rumah sakit yang digerakkan oleh pasar modal seperti pada RS perseroan, apabila rumah sakit tersebut menghasilkan profit yang menggiurkan, maka para penanam modal berlomba-lomba masuk memperebutkan kepemilikan saham yang ada. Akibatnya nilai saham rumah sakit tersebut meningkat. Sebaliknya apabila bisnis rumah sakit tersebut tidak menguntungkan akan berakibat tidak adanya investor yang berminat dan berdampak pada turunnya nilai saham rumah sakit tersebut di bursa saham. Memang pendapat ini terlalu menyederhanakan permasalahan. Tetapi pada kenyataannya tekanan yang berasal dari pasar modal terasa jauh lebih kuat ketimbang tekanan yang membuat rumah sakit tersebut bergerak pada misi yang jauh dari orientasi mendapatkan profit.
Yang paling mencolok dalam industri kesehatan adalah industri farmasi. Terasa sekali pengaruh pasar modal yang demikian dominan dalam industri ini. Penemuan obat tertentu, seperti pada kasus Merck atau Pfizer dengan Viagranya. Begitu FDA menyetujui obat Viagra masuk pasar, segera harga saham Pfizer meroket. Tekanan pasar yang kuat ini, di satu sisi, ternyata membawa angin semangat pada ilmuwan untuk berlomba-lomba melakukan inovasi, menemukan obat-obatan baru yang bisa diserap oleh pasar. Harapannya akan mendapatkan penghargaan royalti dari penjualan obat hasil penemuannya tersebut. Jumlah yang dihasilkan adalah cukup untuk membuat sang Ilmuwan yang berhasil itu kepada status yang bisa disebut sebagai papan atas dalam piramida ekonomi penduduk. Kelebihan dari dinamika aktivitas layanan kesehatan yang digerakkan pasar adalah motivasi besar untuk inovasi-inovasi baru baik oleh ilmuwan maupun organisasi yang bergelut dalam bisnis layanan kesehatan tersebut untuk menghasilkan produk-produk baru yang lebih baik dan berkualitas. Akibatnya ilmuwan menjadi produktif, apalagi pabrikan farmasi lebih produktif lagi, karena merekalah yang mendanai ilmuwan dan juga pihak yang terbesar dalam menikmati keuntungan dari investasi yang ditanamkan.
Namun orientasi besar pada profit yang digerakkan oleh pasar, tidak selamanya berbuah manis. Negara-negara berkembang yang warganya tidak mampu, tentu tidak dapat menikmati produk-produk inovasi kefarmasian yang mutakhir, canggih dan berdaya sembuh jauh lebih tinggi ketimbang produk-produk kefarmasian biasa (umumnya sudah digenerikkan) yang murah dan efeknya sering kali kurang memuaskan. Tetapi produk-produk yang inovasi karena terlindungi hak paten yang biasanya berumur 10 tahun, tidak bisa digenerikkan, berakibat tidak dapat diakses oleh orang kebanyakan. Obat-obatan untuk membunuh virus HIV, hepatitis B, adalah termasuk dalam kategori obat yang terlindungi oleh hak paten. Sudah menjadi rahasia umum, dan umumnya diketahui dari laporan tahunan keuangan perusahaan, bahwa perusahaan-perusahaan yang digerakkan oleh pasar ini, mengeruk keuntungan yang luar biasa besarnya.
Yang lebih tidak mengenakkan adalah para dokter pun dilibatkan dalam usaha pabrikan farmasi ini untuk membantu mereka melunakkan tekanan pasar. Di satu sisi, aktivitas pengembangan ilmu kedokteran memang membutuhkan pendanaan yang besar seperti pertemuan ilmiah tahunan, betapa besar dana yang dikeluarkan perusahaan farmasi dalam mensponsori acara-acara semacam itu. Biaya untuk jasa pembicara, biaya transport naik pesawat, biaya untuk penginapan hotel seringkali pos-pos biaya itu ditanggung oleh pihak sponsor, siapa lagi kalau bukan perusahaan farmasi atau alat-alat kesehatan. Biaya lain yang kasat mata, membuat souvenir-souvenir dari yang murahan hingga mahal dengan istilah “gimmick” untuk merebut hati para dokter agar mau meresepkan obat yang diproduksi perusahaan farmasi tertentu juga merupakan biaya yang tidak kecil. Termasuk pula biaya menggaji detailman, supervisor, manajer serta para eksekutif-eksekutif perusahaan farmasi beserta bonus-bonus yang mereka terima. Bahkan untuk dokternya sendiri pun tidak ketinggalan sebagaimana terlihat dalam kutipan Laksono Trisnantoro dalam buku Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit berikut.
Seorang psikiater dari RRC yang menghadiri kongres American Psychiatrists Association di Philadelphia pada tahun 2002 mengakui bahwa biaya perjalanannya dibiayai oleh perusahaan farmasi.2
Semuanya adalah unsur biaya yang harus ditanggung oleh siapa lagi kalau bukan pasien yang menggunakan obat produk perusahaan farmasi tersebut. Kalau biaya ditanggung perusahaan asuransi, pasien tidak begitu terasa, karena yang menanggung adalah perusahaan. Walaupun sebenarnya uang yang dikeluarkan perusahaan asuransi adalah uangnya sendiri yang mereka keluarkan lewat membayar premi bulanan atau tahunan. Inipun ada kemungkinan naiknya premi yang harus dibayar, bila total biaya perawatan kesehatan makin naik. Tetapi kalau biaya yang ditanggung oleh pasien sendiri seluruhnya pada sistem fee for service, tentu sangat memberatkan bukan.
Semangat masjid dalam bisnis kesehatan
Sebagaimana uraian di atas, bahwa masjid adalah simbol agama dan spiritualitas. Perannya sebagai pembangkit nilai-nilai fitriyah atau spiritualitas seperti membangkitkan komitmen manusia kepada Sang Pencipta, senang pada kejujuran, kesetiaan, menolong yang lemah, dimana nilai-nilai ini diakui oleh siapa saja sekalipun dia ateis, sehingga disebut nilai universal. Masjid juga berperan sebagai pembatas gerak nafsu-nafsu hewaniyah manusia, seperti keserakahan, menindas orang lain dan menghalalkan segala cara agar tujuan tercapai. Dalam bisnis layanan kesehatan semangat masjid yang menjadi pendorong utama dinamika aktivitasnya akan membawa kedamaian dan keadilan serta demokratisasi layanan sehingga bisa dinikmati seluas-luasnya umat manusia, atau dalam bahasa agamanya “rahmatan lil alamin”. Berikut beberapa contoh layanan kesehatan yang digerakkan oleh misi masjid.
Aravind Eye Centre
Di tetangga negara kita yang agak jauh yaitu India, di sana telah berkembang layanan kesehatan yang tidak digerakkan oleh pasar. Melainkan oleh misi yang jauh dari materi. Seperti pada kasus Aravind Eye Center, misinya adalah membebaskan sebanyak mungkin kebutaan yang bisa dihindari. Dengan misi sosialnya, maka sebagian besar pasien yang dilayani (65%) gratis hanya sebagian kecil (35%) membayar dengan kualitas pelayanan yang sama baiknya. Seorang dokter di sana dengan sistem yang sangat efisien mampu melakukan 50 operasi pembedahan mata sehari, bahkan divisi farmasi dan lensanya mampu menghasilkan obat berkualitas dan lensa berkualitas dengan harga jauh lebih murah. Produk-produk mereka telah merambah Eropa dan Amerika. Mereka memiliki 1500 klinik dengan kondisi sanitasi yang jauh lebih baik dari klinik pada umumnya di India. Yang menarik lagi kampanye pemasarannya sangat khusus pada penjaringan pasien-pasien tidak mampu yang tinggal di kawasan miskin. Masalah kualitas pembedahan terutama dilihat dari efek samping, komplikasi yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan rumah sakit ternama di Inggris. 3
Beberapa rahasia yang membuat mereka bisa berkarya sedemikian hebat, bukan digerakkan oleh naiknya harga saham ataupun royalti besar, karena bukan organisasi profit tetapi lebih karena hal-hal yang bersifat non materi.
Rahasia komitmen dokter; gaji yang diterima dokter adalah rata-rata kebanyakan bahkan sedikit di bawah rata-rata. Namun mereka mendapatkan pengalaman berharga selama bekerja di Aravind, mulai pendidikan yang bekerja sama dengan universitas ternama, kasus-kasus langka yang sering dijumpai, riset kolaboratif yang memuaskan, serta budaya yang sangat tinggi berkomitmen pada usaha mewujudkan penglihatan yang baik. Budaya lain yang dibangun adalah budaya yang didasarkan pada layanan. Semua dokter berbicara dengan lembut kepada pasien dan perawat. Di Aravind tidak ada teriakan. Jika seorang dokter berperilaku secara tidak baik, berita akan segera menyebar ke segenap penjuru rumah sakit, dan dokter tersebut akan mendapatkan masalah. Rasa saling menghargai adalah nilai inti dari budaya Aravind. Satu lagi yang ditawarkan Aravind kepada dokter-dokter adalah nama baik, serta status berdasarkan integritas yang kuat mengakar di masyarakat.
Rahasia komitmen perawat dan staf lain; Asisten ophthalmik yang direkrut dari gadis-gadis keluarga besar, keluarga petani dan berperilaku baik, dalam empat bulan pertama dilatih ilmu-ilmu dasar dan detail tentang anantomi dan psikologi manusia. Akhir empat bulan pertama, para pelatih memilih asisten ophthalmik untuk tugas-tugas yang berbeda, seperti departemen rawat jalan, ruang operasi, konseling dan sebagainya. Delapan bulan berikutnya menerima pelatihan khusus untuk departemen di mana mereka ditempatkan. Enam bulan berikutnya dihabiskan dalam aktivitas magang dengan perawat pelatih yang bekerja di departemen yang sama. Terdapat pelatihan satu banding satu pada setiap tahap. Selama enam bulan terakhir mereka bekerja mandiri dengan sejumlah bimbingan dari perawat dan dokter senior. Mereka juga diajari sejumlah terminologi medis dasar dalam bahasa Inggris dan dilatih bahasa Inggris percakapan dasar. Selama tiga tahun masa bakti mereka sebagai karyawan permanen, para asisten ophthalmolog juga diberikan pelatihan memasak, merawat rumah, menjahit dan sebagainya, untuk mempersiapkan mereka agar menjadi istri yang baik di masa mendatang.
Para perawat didorong untuk bersikap baik kepada pasien pada setiap saat dan mendekati mereka dengan rasa terima kasih karena memberi mereka kesempatan untuk melayani. Para perawat tersebut diminta menyimpan sebagian gaji mereka di rekening bank atas nama mereka, sehingga memiliki tabungan yang cukup untuk pernikahan. Dr. Natchiar, kepala pelatihan paramedis Aravind menuturkan, “Lebih dari gaji, manfaat itu adalah pengakuan yang mereka dapatkan dalam masyarakat. Mereka mendapatkan penghormatan besar. Kemudian mereka juga mendapatkan pelatihan dan pengalaman yang sangat bagus di sini. Peluang pergi ke luar negeri, bahkan untuk periode singkat, juga dipandang sebagai faktor positif.” Seorang perawat senior memaparkan, “Saya bekerja lebih banyak ketimbang para perawat di rumah sakit pemerintah; saya dibayar lebih kecil atau sama dengan mereka, namun saya mendapatkan penghormatan jauh lebih besar dalam masyarakat. Ketika saya naik bus, seseorang mengenali bahwa saya bekerja di AEH (Aravind Eye Hospital) dan menawari saya tempat duduk dan bersikap ramah kepada saya. Saya sangat bahagia dengan hal itu.” Dr. Usha menuturkan, “Para asisten ophthalmik merupakan inti keberhasilan kami. Mereka menambahkan begitu banyak kepada Aravind Eye System.” Dr V (sebutan untuk dokter Venkataswamy, sang pendiri Aravind) mengatakan, “Para perawat senior menghargai efisiensi atmosfer kedamaian dan ketenteraman dan memberikan contoh kepada para staf yunior.”
Jaipur Foot
Masih dari negeri India, Jaipur Foot, organisasi nirlaba yang bekerja secara profesional. Walaupun sebagian besar pelanggannya adalah orang miskin dan gratis tetapi sama sekali tidak mengurangi profesionalitasnya. Mereka mengembangkan kaki palsu dengan kualitas yang dibutuhkan oleh orang-orang miskin pedesaan yang bisa digunakan untuk ke sawah, bersila dengan harga 1/300 jauh lebih murah ketimbang kaki palsu buatan Amerika. Usaha mereka tidak saja memproduksi kaki palsu, tetapi juga menyediakan layanan dua hari menginap secara gratis untuk orang-orang miskin, mulai dari mengukur dan memilih bahan yang sesuai dengan jenis, struktur dan tekstur kaki hingga kaki palsu tersebut siap dipakai untuk dibawa pulang dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, mereka terus-menerus mengembangkan proposisi penawaran yang jauh lebih baik. Mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada, seperti yang menonjol berat kaki palsu yang 850 gram, terlalu berat untuk kaki palsu, terlebih bila dibandingkan dengan pesaing-pesaing dekatnya. Ke depan mereka juga terus menerus mencari jalan peningkatan efisiensi biaya dan menurunkan waktu produksi. Salah satu usaha yang profesional adalah bekerja sama dengan badan antariksa India, dengan harapan dapat merancang kaki palsu yang lebih ringan [350 gram], mendapatkan waktu pembuatan yang lebih pendek, dan biaya pembuatan yang lebih murah serta umur kaki palsu yang lebih lama. Sehingga pengorbanan yang diberikan pelanggan [yang kebanyakan orang miskin] semakin sedikit, tetapi nilai yang ditawarkan kepadanya semakin meningkat.
Demikianlah beberapa contoh nyata, ternyata tanpa harus digerakkan oleh pasar sebuah bisnis layanan kesehatan dapat menunjukkan kinerjanya yang profesional, menghasilkan inovasi dan yang lebih penting membuat hubungan dokter dan pasien semakin mesra.
Daftar Rujukan
1. Kuntowijoyo, 1987, Budaya dan Masyarakat, Penerbit PT Tiara Wacana Yogya, Jogjakarta
2. Laksono Trisnantoro, 2005, Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit, Penerbit Andi Yogyakarta, 2005 hal 25
3. C.K. Prahalad, 2004; The Fortune at The Bottom of the Pyramid : Eradicating Poverty through Profits; edisi Indonesia; The Bottom of the Pyramid; Mengentaskan Kemiskinan sekaligus Memperoleh Laba, penerjemah; Ahmad Fauzi, SS, 2004, PT INDEKS Kelompok GRAMEDIA