Sebut saja namanya Endar. Dia siswi kelas 3 SMA swasta. Kalo sore, dia ikut membantu orang tuanya melayani para mas mas mahasiswa yang konon kabarnya di dunia orang kampung manis-manis. Walopun banyak sekali yang rata-rata bahkan di bawah rata-rata.
KAUM LAKI-LAKI ITU GA
Kembali ke cerita…
Disamping warung PKL pak Bejo ada gudang…ga tahu gudang apa isinya. Yang jelas gudang itu kalo pas jam tayang warung PKL pak Bejo selalu tertutup. Ketika zaman reformasi, gudang itu agar aman dari jarahan masa, sengaja diberi tulisan dari cat minyak berwarna putih kontras dengan warna dasar pintu hijau daun tua besar-besar, bunyinya……100% KOSONG… dengan harapan para penjarah tidak masuk ke gudang itu. Dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan gudang itu aman dari jarahan masa di bulan Mei 1998.
Di suatu sore, seperti biasa…segerombolan pemuda mahasiswa…kelihatannya satu kos. Mereka akrab sekali.
“Met gimana kamu belum punya pasangan…kamu katrowk banget sih” ledek Yanuar kepada temannya yang bernama Slamet.
“Kamu belum tahu..sih, aku datang ke sini dalam proses PDKT” elak Slamet.
“PDKT sama Endar..maksudmu?” tanya Udin.
“Sssst… kamu sudah tahu…kalo Endar itu sudah ada yang punya!” timpal Heri meyakinkan.
“Kalian salah semua….Endar itu belum ada yang punya!” bentak Slamet dengan suara yang masih normal, sehingga tidak terdengar keluar komunitas mereka.
“Lho…kamu tahunya dari mana?” kembali Yanuar meledek.
“Itu…kalian bisa baca
GLODAK!
Baddalaaa tenaan!!!
“Wakakakakakakakakkaakkk” derai tawa meledak bersama-sama seperti semburan pasir yang memburai dari sumber mata air yang sangat deras.
……………………………………………
Mengetahui keadaan sebenarnya adalah sebuah seni atau bisa dikatakan sebuah intuisi. Karena kita terbiasa dididik secara analitis. Sering kali mind set pikiran kita menjadi terpola, bahwa segala sesuatu bisa dianalisis dan kita pasti bisa membuat keputusan-keputusan. Harus ada data-data yang lengkap dan complicated untuk membuat sebuah keputusan yang excellent. Dalam dunia kedokteran, untuk menentukan adanya sepsis (infeksi kuman yang tersebar merata di seluruh pembuluh darah, harus dilakukan kultur, untuk memastikan terjadinya sepsis oleh bakteri tertentu misalnya). Dan metoda kultur ini membutuhkan waktu 24 jam. Sementara pasien dalam keadaan kritis.
Atau adanya appendicitis (radang usus buntu) yang mengalami komplikasi abses juga harus dibantu dengan alat USG. Dan kenyataannya harus menunggu waktu mendapatkan hasil rujukan dokter radiology. Atau di daerah terpencil, USG cuman satu, yang membutuhkan banyak sekali. Sementara kekhawatiran komplikasi berkejaran dengan waktu agar tidak menyebar dan bertambah berat.
Ternyata…..
Ketika saya Co-Ass dulu, seorang dokter ahli bedah digestive yang senior..
“Ini Suf…kamu raba..kamu rasakan ujung jarimu… terasa lunak
Saya pun mengikuti apa yang beliau lakukan.. ujung jari telunjuk…meraba dan sedikit memberikan tekanan pada titik Mc Burney (titik tempat usus buntu berada).
“???” perasaan sama saja tuh, dengan permukaan kulit yang lain.
……………………………….
“Ini Suf kamu rasakan lagi… beda
“???” lagi-lagi aku ga bisa membedakan….
………………………………..
Beliau itu sekolah dokter umum 6 tahun, spesialis bedah 4 tahun dan mengambil sub spesialis bedah digestive 3 tahun. Jadi bisa dikatakan jam terbangnya sangat tinggi. Sehingga intuisinya sudah jalan. Bahkan ujung jari telunjuknya sudah memiliki sensor yang sangat tajam… sebanding dengan kualitas USG. Pola “perlunakan” sudah terdeteksi oleh ujung jarinya sebelum USG terbaca oleh teman sejawatnya yang ahli radiology.
Ketajaman pengenalan pola “perlunakan” beliau sangat membantu teman-teman sejawat yang ahli bedah yang minim alat bantu diagnostic bahkan seringkali sudah rusak dan belum dapat pengganti yang baru terutama di daerah.
Saya hanya bisa berkata LUAR BIASA untuk ketajaman dan “jam terbang” beliau.
Ketajaman menebak yang terbangun oleh “jam terbang” yang sangat jauh berbeda dengan ketajaman asal-asalan punyanya Slamet.