Pengobatan alternatif yang ada dimasyarakat saat ini sebagian besar belum memiliki bukti ilmiah yang kuat dan kebanyakan hanya berdasarkan pengalaman dari pasien saja. Padahal bukti ilmiah tersebut untuk menunjukkan keamanan, efektivitas dan mutu dari suatu pengobatan.
Bukti ilmiah (evidence base) untuk suatu pengobatan ada beberapa tingkatannya. Tingkatan yang paling rendah merupakan pendapat dari para ahli hingga suatu penelitian metaanalisis.
Meski begitu masyarakat harus membedakan antara pengobatan alternatif dengan pengobatan komplementer. Pengobatan alternatif adalah suatu pengobatan yang membuang atau menghilangkan pengobatan utama. Sedangkan pengobatan komplementer adalah pengobatan tambahan untuk melengkapi pengobatan utama yang digunakan secara bersamaan.
“Pada pengobatan alternatif masyarakat akan meninggalkan pengobatan utamanya, kebanyakan pasien yang awalnya datang dengan penyakit kanker stadium 2 lalu pergi ke orang pintar dan balik lagi ke dokter sudah stadium 4,” ujar Dr Aru W Sudoyo, MD, PhD, FACP disela-sela acara Patient Gathering Sanofi Aventis ‘Kanker Usus Besar Bisa Dicegah’ di Hotel Sahid Jaya.
Dr Aru menuturkan beberapa pasien yang didiagnosis kanker akan pergi ke ‘orang pintar’ dulu untuk mengobati penyakitnya, lalu ketika penyakitnya tidak membaik ia akan kembali ke ‘orang yang kurang pintar’ atau dokter dengan kondisi yang sudah lebih parah dibanding sebelumnya.
Kondisi ini yang membuat pengobatan alternatif umumnya tidak disarankan oleh para dokter karena pasien akan meninggalkan pengobatan utamanya yang berfungsi untuk mengobati penyakit yang dideritanya.
Namun jika masyarakat ingin melakukan pengobatan komplementer sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu dengan dokter yang merawatnya, hal ini untuk menghindari interaksi antar kedua pengobatan tersebut yang bisa merugikan pasien.
Pengobatan alternatif akan diberikan dokter melalui rujukan dokter bukan otodidak si penderita/pasien. Disarankan kepada pasien untuk tidak langsung melakukan pengobatan alternatif karena:
- Belum jelas penyakitnya (belum di diagnosa dengan benar)
- Akan menimbulkan banyak komplikasi obat (jika otodidak makan obat sendiri)
- Menghabiskan waktu (khususnya pasien gawat darurat yang membutuhkan pertolongan segera)
- Polimedicine (banyak pergi berobat, akhirnya si pasien bingung)
- Polifarmasi (banyak makan obat, akhirnya menimbulkan resisten, interaksi masing-masing obat)