Teman sejawat saya, yang dulu selama masih kuliah adalah teman satu kos [satu asrama]. Beliau ini orang Jawa Timur dengan logat daerah Suroboyo-an yang sangat kental.
Beberapa kata yang sering meluncur dari mulutnya, bagi kami adalah sesuatu yang lucu. Kata jatuh, dalam pengungkapan teman “arek Surobyo-an” ini menjadi lőgőr. 24 dalam bahasa Solo “pat likur” tetapi dari lidah “arek Suroboyo-an” ini menjadi “
padêlikur”. “
Sumuk” [gerah karena udara panas] menjadi “
wóngkób”.
Padahal saya sendiri juga orang Jawa Timur, tetapi logat bahasa ikut orang Kediri-an, juga masih merasa geli dan lucu kalau dia ini berbicara. Kadang-kadang kata-kata yang keluar dari mulut saya pun bagi orang Solo adalah sesuatu yang lucu pula. Pernah suatu ketika, pada saat mau tukar jaga, saya bilang ke teman
“Mas Nuril tulung aku gajulono, ya jagaku”
“Jênêngan digajuli Yayuk”.
[Mas Nuril minta tolong digantikan jaganya, kamu (ungkapan halus dalam jawa menjadi panjenengan atau diperpendek menjadi jenengan) digantikan Yayuk].
Padahal dalam logat Solo, “digajuli” bermakna ditendang. Jadi kalau diterjemahkan dalam logat Solo [Mas Nuril aku, kamu tendang, sedangkan kamu ditendang Yayuk].
Kembali ke teman “arek Suroboyo-an”. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, akhir-akhir ini dalam suatu acara dinas, saya bertemu dengan beliau ini. Tidak berubah sama sekali logatnya. Bahkan ketika dia lama berdomisili di daerah Jawa Tengah dengan logat yang khas dan kentalpun tidak mengubah gaya dan logat bahasa yang tertanam kuat di area Brocanya [area broca adalah daerah diotak manusia yang merupakan pusat mengatur berbicara kita].
“Yok opo kabare cak?” sapanya ketika bertemu
“Apik aé cak, Kón piye saiki?” balasan saya padanya, dengan berusaha mengimbangi logatnya.
………dst
Singkat cerita, dia ini bercerita,
“Bisnisku, tak bagi jadi 5 divisi”
“Opo cak? Divisi? Kóyók tentara ae!”
“Iyo cek tertib ngono ta!”
Yah, dia sekarang benar-benar berubah, tidak seperti ketika satu kos bersama dulu. Dulu sukanya membahas masalah politik dan per”tentaraan”. Tidak terbersit sama sekali masalah bisnis. Mendengarkan apa yang telah dilakukan, dan bisnis yang diusahakan, terus terang saya benar-benar kagum dan bercampur dengan sedikit tidak percaya. Tetapi ketika dia bercerita dengan fasih, panjang dan lebar mengenai apa yang dia lakukan saya baru benar-benar “haqqul yaqin” seratus persen.
Divisi pertama, membawahi bisnis tutup botol. “tutup botol?” “Kok bisa-bisanya sampeyan bisnis tutup botol?” saya tanya dengan terheran-heran padanya. Cerita singkatnya, ketika beliau ini sedang keliling-keliling daerah, ada seorang pengerajin tutup botol yang beliau lihat. Setiap hari rajin sekali membuat tutup botol dengan berbagai macam bentuk, dan penghiasnya. “Beraneka macam perusahaan yang disetorin nih” begitu pikirannya dalam hati. Beliau melihat pengerajin ini terlalu sederhana pola pikirnya, dan hanya sebatas membuat tutup botol pesanan perusahaan dan menyetornya. Akhirnya dibuatlah kesepakatan dengan pengerajin tadi, bahwa beliau ini ikut dalam memanajemeni usaha tutup botol tadi dengan menanggung segala keuntungan dan kerugian secara bersama-sama, serta dituangkan dalam perjanjian. Singkat cerita usaha berkembang, dan bertekad ingin memperluas pasar dan memimpin pasar di wilayah Jawa Tengah. “Wow luar biasa!”
Divisi selanjutnya ada biskuit, ada bengkel dan grosir spare part kendaraan bermotor, ada divisi penjualan alat-alat tulis dan buku, serta divisi angkutan umum. Bahkan mulai merambah salon kecantikan dan taksi. Sekali lagi saya hanya bisa mengatakan “luar biasa cak” “aku kudu belajar karo arek peno”.
Ada pelajaran efisiensi dan efektivitas yang saya petik dari pengalaman beliau. Ketika beliau ada tugas ke Semarang, beliau berkata
“Nek Aku lungo nang Semarang, aku mikir piye carane duite sing tak tok no impas” [kalau aku pergi ke Semarang, aku berpikir bagaimana caranya uang yang dikeluarkan bisa impas]
“Makane, mampir nang Makro, tuku pulpen, buku tulis, kertas, tak lebokno nang mobil”[karenanya, mampir di hypermarket Makro, membeli ballpoint, buku tulis, kertas, dimasukkan ke mobil]
“Iku nek dietung-etung batine, pas karo duit sing dienggo tuku bensin, mangan lan kesele” [itu kalau dihitung-hitung untungnya, sudah impas dengan pengeluaran beli bensin, makan dan lelahnya perjalanan]
Saya berpikir “memang dokter Juragan harus seperti itu”
Ada yang menarik dari Cak dokter “Suroboyo-an”, dia ini mempunyai sekretaris pribadi, yang mewakilinya dalam controlling perusahaan sekaligus orang kepercayaannya. Mau tahu berapa gajinya? Gajinya adalah 2 juta rupiah. Sementara gaji dokter PTT saat ini adalah Rp. 1.250.000,-.
“Ia memang mempunyai pikiran dan style yang berbeda dari kebanyakan dokter” kata saya dalam hati.
Ada lagi yang menarik dari karakter Cak dokter Suroboyoan, dia tegas terhadap karyawannya yang melanggar norma dan moral agama. Ketika menemukan karyawannya mabuk, maka ia putuskan karyawan tersebut untuk berhenti dengan memberi pesangon. Ia tidak mau karyawan yang moralnya jelek akan mengganggu kondisi kerja rekan yang lain.
“Selamat berjuang Cak, temukan dengan caramu sendiri, tuk menggali potensi yang kau punya, berikan yang terbaik, tinggalkan jejak-jejak kesejukan bagi siapa saja yang pernah berinteraksi denganmu”
“Jaga keikhlasan, dan hanya berharap kepada Allah-lah segala pengharapan dan pengorbanan, walaupun yang merasakan adalah manusia, orang-orang dekatmu, orang-orang yang berada di sekitarmu.”
“Selamat berjuang Cak!”