Semalaman beliau tidak bisa tidur. Bagaimana bisa tidur, sebentar-sebentar perut mules, harus segera dikeluarkan ke belakang.
Terhitung sudah lebih dari 10 kali beliau harus menjalani siklus
mules--> ke WC --> kamar tidur --> minum oralit buatan sendiri --> mules --> dan seterusnya kembali ke awal.
Menjelang pagi hari, siklus itu bertambah adanya mual dan muntah.
Pagi itu, segala macam rasa tidak enak berkumpul di badan mbah Joyo Kakung.
Lemes, perut sebah, mual, mules, badan meriang kedinginan, linu-linu di sendi, pandangan mata berkunang-kunang, sudah sangat capek, ingin tidur, tapi rasa itu segera lenyap tergantikan dengan rasa-rasa tidak enak lain yang bersatu padu membuatnya seperti kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Hari itu, benar-benar hari berat buat mbah Joyo. Ujian kesabaran terbesar dan tidak ada bandingannya. Ditambah harus ikut antrean menunggu panggilan untuk diperiksa dan nanti antre pula mengambil obat. Payah, bertambah payah dan semakin payah.
Yang menderita, sebenarnya bukan mbah Joyo kakung saja, seisi rumah ikut dan wajib pula merasakan kesakitan dan kesusahannya. Istrinya jelas, orang yang sekamar, masa cuek, jelas tidak. Minimal kalau tipenya cuek, terganggu tidurnya. Kalau tidak cuek, ikut membuatkan oralit, mem-blonyohi [mengolesi] seluruh badan mbah Joyo kakung dengan minyak kayu putih. Menanya-nanyain “Gimana Pak?” “Masih mules Pak?”, meminta minum oralit dengan lembut “Ayo Pak diminum oralitnya” dan memohon untuk bisa mengolesi badannya dengan minyak kayu putih dengan rasa kasih sayang “Diolesin pakek minyak kayu putih ya Pak”.
Menantu dan anaknya yang kebetulan tinggal serumah, juga ikut-ikutan “sakit”. Minimal terganggu tidurnya, hingga yang care, menawarin mengajak mbah Joyo Kakung “dibawa ke rumah sakit ya mbah Kakung?” “dari pada nanti opname, mendingan sekarang saja periksanya…nggih” “biar saya antar”. Sedangkan cucunya, kalau peristiwa ini terjadi saat episode tidurnya REM [rapid eye movement], bisa terbangun, tetapi kalau tidurnya pas fase tidur dalam, biasanya cuek terus tidur, dan tidak tahu apa yang terjadi.
Mbah Joyo Kakung memilih bertahan tidak mau dibawa kemana-mana. Ia berpikir
“Kalau ke rumah sakit mahal”
sambil meringis menahan nyeri mulesnya, kemudian melanjutkannya
“apalagi klinik sebelah itu”
“besok pagi saja ke Puskesmas”
“mbah masih kuat koq”
serentetan kata-kata untuk menjawab ajakan anak dan menantunya yang tinggal serumah. Mbah Joyo tahu kondisi keuangan anak dan menantunya, apalagi sekarang beliau sendiri juga minim keadaan keuangannya.
Akhirnya, tibalah saatnya detak jarum jam menunjukkan angka delapan pagi. Sebuah penantian yang terasa puaaanjaaaang. Penantian malam yang panjang menuju pagi hari. Sehat itu membuat waktu jadi terasa pendek.
Mengikuti prosedur di Puskesmas,
mendaftar --> membayar karcis pendaftaran --> menukar kartu dengan catatan medik di ruang pendaftaran --> mengantrikan kartu catatan medik di poliklinik --> kemudian menunggu panggilan.
Sebuah usaha perjuangan sendiri, di tengah-tengah ketidaknyamanan yang memuncak. Walaupun pekerjaan mbah Joyo Kakung hanya duduk, tetap saja namanya orang sakit itu tidak mengenakkan.
Tibalah giliran mbah Joyo Kakung diperiksa, ada sedikit perasaan lega.
Berjumpa dengan bu Mantri, gemuk, setengah baya, kaca mata tebal, rambut ikal tetapi orangnya dingin, kaku, tidak se-flexible dengan rambutnya yang mengombak lemas. Suara yang mengurai deras dari bibirnya lantang, tegas dan keras laksana tentara yang gagah berani dan tidak mengenal ampun pada lawan-lawannya.
Memang di dunia ini, segala sesuatunya sudah dibuat ukuran-ukurannya sendiri. Suara keras, lantang dan tegas akan tepat bila diterapkan di lapangan pertentaraan. Tetapi tidak tepat untuk perpasienan.
“buka bajunya…!” perintah bu Tarti kepada mbah Joyo Kakung
“nggih…bu” jawab mbah Joyo Kakung dengan kesabarannya yang sudah menuju ambang peregangan maksimal.
“nich untuk ambil obat!” suara lantang, keras dan tegas, dengan ekspresi wajah dingin, kembali meluncur dari bibir bu Tarti, tanpa peduli dengan kepayahan yang dialami mbah Joyo Kakung.
“sudah sana ke apotek!” lanjutnya kembali, dengan sedikit gemas, karena mbah Joyo Kakung tidak segera beranjak dari tempat duduknya.
“?#>…” tanpa banyak pikir, segera mbah Joyo Kakung segera beranjak keluar, menyerahkan kertas resep kepada istrinya agar mengantrikannya di apotek.
“mantri macam apa ini”
“mantri koq seperti tentara”
“galak dan serem”
“saya ini pasien bukan prajurit!”
namun sayangnya diungkapkan hanya dalam hati untuk mengata-ngatai perilaku bu Tarti ketika memeriksanya. “Pasien Juga Manusia”UDaH keJaTuHAn bAu PulA