Merasa diremehkan, istrinya bertekad mengujinya untuk membuktikan bahwa seorang istri bagaimanapun pasifnya dia tetap punya andil besar bagi keberhasilan sang suami. Istri ulama tadi sudah terbiasa mandiri untuk memikirkan bagaimana agar dapur rumah tangga tetap “mengepul”.
Suatu ketika ia mencoba tidak memikirkan bagaimana usahanya agar memperoleh tepung yang akan digunakan untuk makanan sehari-hari. Ia sengaja memberitahu suaminya sore hari di saat sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan bahan yang akan disampaikan dalam suatu kajian yang dihadiri oleh banyak orang penting.
Karena ada berita dari istri bahwa saat ini sudah tidak punya uang lagi untuk membeli tepung, maka jadi terpecahlah pikirannya. Yang satu harus mempersiapkan bahan yang sebaik-baiknya, yang kedua harus memikirkan malam itu juga dari mana harus mendapatkan uang untuk membeli hanya sekedar tepung untuk bahan makanan keluaga malam itu dan esok harinya.
Hingga fajar tiba, dua masalah itu belum juga ada titik terang penyelesaiannya. Akhirnya, dengan persiapan yang berantakan sang ulama tadi datang dalam forum kajian penting yang sudah direncanakan semula.
Tibalah saatnya dia harus berbicara, tidak seperti biasanya ia ucapkan basmalah dan disusul salam, syahadat dan sholawat. Tetapi ini sangat di luar kebiasaanya,
kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah “TEPUNG!"
Sejak peristiwa itulah ia baru menyadari bahwa istri punya andil yang besar dalam perjuangan suami. Dan sejak itu pula ia mendapat gelar yang luar biasa unik yaitu
ULAMA “TEPUNG”.