Patient is the first thing.........
Jatmiko seorang perwira tentara dari sebuah kesatuan pada hari minggu di pasar yang ramai berhasil menggagalkan aksi pencopetan kelompok kriminal di suatu daerah di Solo. Sebut saja si Jo sang pencopet berhasil diamankan petugas, walaupun sebagian tubuhnya babak belur akibat sempat dikeroyok masa. Setelah dirawat di rumah sakit beberapa saat, akhirnya si Jo bisa dijebloskan ke penjara untuk beberapa bulan.
Ternyata kasus penangkapan si Jo bagi perwira tentara Jatmiko ini berbuntut panjang. Si Jo ini adalah adik kandung dari pimpinan preman dalam satu kawasan yang luas. Artinya kakaknya mempunyai pengaruh yang sangat luas dalam dunia perpremanan. Kombinasi yang bagus untuk terealisasinya dendam pada Jatmiko. Dan ternyata benar.
Pagi itu, saat mengantar istrinya ke pasar, segerombolan pemuda tiba-tiba menyerbu Jatmiko dan mereka menikamkan pisau kecil ke perut bagian bawah. Puas menikam Jatmiko, kawanan pemuda yang tak lain adalah anak buah kakak kandung si Jo ini, lari dan pergi meninggalkan Jatmiko yang tangan kanannya terus menekan perut agar tidak banyak ususnya yang keluar, sementara tangan kirinya menyangga usus yang telah keluar agar tidak jatuh ke tanah. Masih untung ada mobil yang mau mengantar Jatmiko ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis segera.
Sementara itu, di rumah sakit khususnya di bagian instalasi gawat darurat menjadi sangat ribut. Beberapa pengantar pasien sempat tertegun dan “syok” melihat pemandangan yang mengerikan itu. Jangankan pengantar pasien, dokter UGD dan perawat yang jaga pun sempat dibuat terpana dengan kondisi pasien yang masih bisa berjalan sambil menggendong usus yang terburai keluar. Anehnya sedikit sekali darah yang keluar. Perawat bedah dan perawat anestesi bahu membahu mempersiapkan agar pasien siap “hidang” di meja operasi atas instruksi dari dokter bedah dan dokter anestesi yang menjadi atasan mereka masing-masing.
Beberapa kilometer dari rumah sakit, dokter Herman SpB, pagi setengah siang itu sedang menikmati kebersamaannya dengan keluarga berbelanja di sebuah mall ternama di Solo. Deringan telefon dari perawat bedah di kamar operasi membuatnya risau di tengah keceriaan dan kebersamaan dengan istri dan anak-anaknya yang sedang berbelanja.
“Teti...sayang” kata dokter Herman SpB kepada istrinya
“Ada apa mas? Minta aku dan anak-anak naik taksi?” timpal istrinya dengan sedikit cemberut
“I...iya... maafkan papa ya” kata dokter Herman SpB memohon
“Hilmi” “Yahya” “kalian pulang naik taksi ya sama mama... ada pasien yang dibacok orang, ususnya keluar. Harus segera dioperasi. Doakan papa ya” lanjut dokter Herman SpB tanpa memberi kesempatan bicara pada istri dan kedua anaknya, dan langsung bergegas. Ketika menjelang belokan display baru dokter Herman menengok dan melambaikan tangan. Sementara isteri dan kedua anaknya membalas dengan malas dan masih menampakkan ekspresi kebingungan dan kekecewaan.
Saya mendapatkan kisah-kisah mirip kejadian di atas setidaknya dari dua sumber. Pertama, dari dokternya sendiri dan kedua dari anaknya lewat temannya. Untuk yang pertama dia adalah seorang ahli bedah digestif dan yang kedua anaknya juga dokter sedangkan bapaknya adalah seorang ahli obstetri dan ginekologi atau orang biasa menyebut dokter kebidanan dan kandungan. Untungnya anak-anak dari kedua dokter ahli ini “normal-normal” saja, bahkan kedua dokter ahli ini, anak-anaknya juga mengikuti jejak ayahnya yang juga ahli dan saat tulisan ini dibuat sedang menjalani studi jenjang doktoral.
Ada juga yang sampai istrinya stress dan menjadi gila walaupun akhirnya bisa sembuh, tetapi dokter ahli ini akhirnya menjarangkan frekuensi praktik, seminggu hanya tiga hari jam kerja di rumah, dan anak-anaknya tidak ada yang mengikuti jejak ayahnya menjadi dokter, apalagi dokter ahli.
Terakhir dan mungkin bisa dikatakan tragis, kisah dokter obstetri dan ginekologi cewek yang meninggal dalam pangkuan keluarga pasien. Beliau meninggal setelah selesai melakukan operasi dan akan menemui keluarga pasien. Pada saat menemui keluarga pasien ini, beliau terjatuh, dan keluarga pasien sigap menangkap tubuh beliau. Dan meninggal seketika. Tampaknya beliau ini terlalu banyak menangani pasien karena mungkin pasien obstetri dan ginekologi lebih senang kalau dokter yang menangani adalah dokter perempuan. Pasien perempuan tidak nyaman kalau daerah paling pribadi disentuh oleh seorang lelaki asing walaupun dia berprofesi sebagai dokter obstetri ginekologi. Sementara beliau tidak mampu menolak keinginan pasien di satu sisi, ternyata kesehatan beliau tidak dapat menopang beban aktivitas yang menuntut kebugaran fisik tersebut. Akhirnya malapetaka itu terjadi.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana para dokter yang banyak menggunakan “pisau” ini bisa menikmati istirahat dengan nyaman dalam hidup mereka. Malam-malam yang mereka lalui harus selalu dalam keadaan siaga. Mereka harus siap sedia datang ke rumah sakit, manakala pasien yang mereka tangani dalam keadaan darurat. Mereka bertanggung jawab penuh pada keselamatan nyawa pasien yang mereka tangani 24 jam penuh. Memang uang yang mengalir mungkin bisa banyak, tetapi itu mungkin tidak sebanding dengan “kemerosotan” kesehatan, karena mereka menjadi dokter ahli tidak lagi dalam usia yang segar bugar, rata-rata sudah mendekati atau malah sudah berkepala empat. Sudah sering saya dengar dokter bedah, dokter obgyn yang meninggal mendadak karena jantung atau stroke. Bahkan sebagian diantaranya harus menjalani kehidupan dengan cacat akibat serangan stroke. Memang inilah resiko dari “when patient is the first thing”.