Bila menganggap “Seleksi Nasional” ekuivalen dengan “Ujian” maka hari ini adalah tepat 1 dekade dari hari bersejarah itu [oh dear ! a decade already]. Sejujurnya optimisme itu tidak pernah benar-benar nyata, hanya antusiasme yang menggebu-gebu menanti hari besar tersebut.
Pada dasarnya peristiwa hari itu adalah kulminasi dari serangkaian kejadian sebelumnya, demikian bila kita melihatnya hari ini secara introspektif. Semuanya mungkin dimulai dari kontemplasi soliter di kamar kost-an saat itu, kamar terakhir dan terbaik di Bandung- kota perantauan ku yang pertama.
Saat itu sedang menimbang-nimbang dengan hati-hati sebuah keputusan yang sebenarnya sederhana : Bimbel yang mana ?
Ya. Bagi saya saat itu, persoalannya cukup rumit hingga saya perlu membuat analisis SWOT versi saya sendiri, tercatat rapih dalam Jurnal, premis culun macam “ si I dan Y akan bimbel di sana” serta argumen sejenis bernada romansa dan konyol. Pada akhirnya saya mengambil keputusan yang kompromistis sekaligus berani, kompromistis karena saya mengikuti 2 Bimbel tapi tidak pada keseluruhan fragmen, karena pada fragmen akhir persiapan saya memilih untuk mengalienasikan diri dari dukungan peer dengan bergabung di Nurul Fikri [ ini promosi ya :) ]
Demikian langkah pertama saya menghadapi ujian terbesar yang pernah saya ikuti [literaly, karena ia diikuti puluhan ribu peserta], UMPTN waktu itu namanya. Menghadapinya saya bersikap praktis saja : “kalau tidak lulus ya ikut lagi tahun depan”. Jadi mengherankan sekali ketika kakak saya mendorong untuk mengikuti ujian-ujian masuk lain, sehingga setengah terpaksa + menemani rekan-rekan saya mendaftar ke Politeknik Manufaktur, Olala ! lulus sih lulus tapi ngeri bayangin ospeknya.
Setelah banyak latihan dan eksperimen saya sampai pada posisi yang melegakan sekaligus membingungkan, menghadap lah saya pada pembimbing saat itu. Saya harus memilih bidang lain dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi lagi, menghadap lah saya pada Ibu, dan ia memberikan dambaannya yang tertinggi untuk saya coba capai, maka sejak itu fokus saya alihkan pada FKUI. It’s a long shot, worth trying and nothing to lose.
Maka sampai kita pada hari itu. Biasanya saya akan memulai hari dengan 2 lap jogging yang diakhiri dengan sebungkus gorengan dan koran pagi di kamar, tapi dengan ansietas yang cukup membuat saya tak mampu memejam mata semalam, saya bersegera ke kios langganan untuk mendapat kecewa karena abangnya tidak menyiapkan eksemplar pesanan saya. Tidak sekali saya berfikir untuk bergabung bersama teman-teman semalam menunggu tengah malam, dan pengumuman resmi, jadi pagi itu dengan lunglai saya kembali ke kost-an menyesali keengganan semalam.
Kembali ke kamar saya terduduk lesu saat mendengar panggilan bapak kost mengajak saya melihat pengumuman bersama di bawah, spontan saya berdiri dan setengah berlari ke ruang makan, rupanya beliau sudah menemukan nama saya karena ia tersenyum menunjuk bagian tertentu dari ribuan daftar nama yang tercantum, kuperiksa nomornya benar, tapi kodenya menunjuk pada pilihan pertama ! mengerjap-ngerjap kodenya tidak berubah…ya tidak salah lagi, do’a ibu menjadi kenyataan.
Ingin berteriak dan melompat-lompat, tapi teman ku di sebrang meja masih mencari namanya, ia masih juga meneliti daftar tersebut, dan masih seperti itu saat di kamar aku menyetel kaset album Sherina yang pertama, volume maksimal dan aku menandak-nandak sendirian di kamar :) sampai puas, setelah bersujud aku keluar mencari telepon [belum jaman HP] untuk memberi kabar gembira pada keluarga. Itulah mengapa Sherina selalu menjadi penyanyi favorit ku
Hari ini adalah peringatan 1 dekade peristiwa besar tersebut dan aku masih mengingatnya sejelas matahari.