Desa Loh Jinawi, adalah desa agraris yang kaya akan sumber daya pertaniannya. Untuk ukuran kabupaten Gemah Ripah adalah termasuk desa yang kaya. Banyak para pedagang dari luar daerah yang langsung menuju ke desa Loh Jinawi. Memperoleh bahan-bahan pertanian yang melimpah dan murah.
Walaupun dikaruniai sumber daya alam pertanian yang melimpah ruah dan mendatangkan kesejahteraan bagi warga dan tentunya uang pajak yang mengalir ke pemerintah kabupaten, tetap saja kondisi sarana infrastruktur desa lebih tertinggal ketimbang daerah lainnya.
Usut punya usut, satu hal dan ternyata merupakan akar dari segalanya adalah bahwa dalam pemilihan legislatif selama lima belas tahun terakhir hasilnya tidak menggembirakan bagi kalangan politisi yang duduk di pemerintahan kabupaten dan propinsi. Di desa Loh Jinawi, partai Mangga Dua selalu menjadi pemenang mutlak, sedangkan partai Cempaka sebagai partai pemerintah hampir dikatakan tidak ada pemilihnya.
Kalau melihat perkembangan desa-desa lainnya yang parpol Cempaka menjadi pemenang mayoritas, fasilitas infrastruktur terutama listrik dan puskesmas pembantu, mendapatkan fasilitas yang prima. Khusus untuk desa Loh Jinawi, tetap saja listrik belum masuk dan puskesmas pembantu belum didirikan di desa itu. Padahal dalam catatan kunjungan pasien, hampir 50 % pengunjung di Puskesmas Langka Sehat yang terletak di desa Lara Ati adalah berasal dari desa Loh jinawi. Desa Lara Ati karena partai Cempaka mendapatkan suara mayoritas, listrik sudah masuk tujuh tahun yang lalu.
Analisis hal yang terjadi
Pada kasus ini, terdapat kelompok minoritas dalam hal ini, minoritas dalam hal ideologi partai politik, mengakibatkan perlakuan diskriminatif. Walaupun secara ekonomi, desa Loh Jinawi penyumbang ”devisa” yang tidak sedikit, terutama dari hasil retribusi penjualan bahan pertanian dan pajak-pajak lain yang berlaku bagi pedagang-pedagang yang berkunjung ke desa Loh Jinawi. Hanya karena sebagai minoritas dalam ideologi partai politik, desa Loh Jinawi tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh fasilitas layanan kesehatan yang layak.
Murti dkk[1], juga memberikan contoh serupa :
Di sebuah kota tersedia dana yang disebut anggaran biaya tambahan (ABT) sebesar Rp. 75 juta. Pengambil keputusan harus memilih apakah dana tersebut dialokasikan untuk intervensi A atau B. Alternatif intervensi A dapat mencegah kematian (death averted) 100 anak balita malnutrisi dengan biaya intervensi Rp. 50 juta. Alternatif intervensi B dapat mencegah kematian 10 orang dewasa akibat infark otot jantung, dengan biaya intervensi Rp. 50 juta. Aturan penggunaan menyebutkan, anggaran biaya tambahan (ABT) dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan mendesak, darurat, dan Kejadian Luar Biasa (KLB). Pilihan mana lebih rasional? Memilih intervensi A lebih rasional karena alternatif tersebut lebih cost-effective daripada intervensi B. Tetapi apakah dengan demikian dana publik tersebut akan dialokasikan untuk mencegah kematian anak balita? Belum tentu! Sebaik apapun atau serasional apapun suatu pilihan intervensi tetap saja tidak akan dipilih jika tidak mendapat dukungan dari kekuatan politis yang memiliki akses terhadap penggunaan sumber daya, baik di parlemen maupun pemerintah. Intervensi A tidak dibiayai, karena epidemi malnutrisi menjangkit anak-anak di kalangan penduduk miskin yang pada pemilu yang lalu memilih partai ”gurem” (minoritas). Intervensi B dipilih, karena resiko infark otot jantung mengancam para pejabat dan birokrat dari ”the ruling party”, dan politisi dari ”the major party”, yang kebanyakan uang dan stress.
[1] Bhisma Murti, Laksono Trisnantoro, Ari Probandari, Atik Heru Maryanti, Deni Hardianto, Mubasysyir Hasanbasri, Titik Wisnuputri, 2006, Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota, Gajah Mada University Press