KIPI.. Satu nyawa bayi bukanlah mainan.. Jika memang vaksin aman, maka seharusnya tidak ada satupun nyawa yang harus dikorbankan. Cukup pantaskah alasan mengorbankan satu demi lebih banyak anak lagi? Jika bersandar pada teori “herd immunity / kekebalan komunitas”
Assalamu’alaikum.wr.wb
Sebelumnya perkenalkan nama saya Siti Afifah (afi), istri dari Rudiyanto, Jogyakarta. Kami menikah tgl 04 mei 08.
Alhamdulilah tanggal 28 maret putri pertama kami lahir dengan BB 3,6 dan PB 50cm. Kami beri nama ASHILA NAILI RACHMACH. Alhamdulilah saya berikan ASI.
Umur berapa, saya lupa, pernah saya periksakan ke bidan kenapa nafasnya grok2. Bidan bilang “tidak apa2, hanya flu biasa.” Umur 2,5bln kalau tidak salah mendapatkan vaksinasi DPT/POLIO. Pada saat itu, perawatnya bicara sendiri “panas ga ya.. panas..eeh ga panas deng..”
Karena akupun kurang paham pada waktu itu, kami pulang tanpa obat penurun panas. Ketika di rumah tiba-tiba panas,aku pun bingung. Lalu kami membawanya ke seorang dokter anak di salah satu RSKA, Jogyakarta. Biaya pemeriksaan yang kami bayarkan sebesar Rp 500.000,oo dan dokter menganjurkan agar anak kami dilakukan terapi sinar dua kali. Namun karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan serta suami berada di Jakarta, maka kami mengurungkan niat untuk terapi.
Tiba-tiba setelah selesai menyusu, anak saya muntah-muntah sangat banyak. Seingat saya hari itu adalah hari Jum’at, wajahnya membiru dan melemas. Akhirnya kami segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Lalu dirujuk ke PKU JOGYA jam 15.00. Hasil rontgen mengatakan bahwa Syila menderita pembengkakan jantung dan bronk .. ( maaf saya lupa nama penyakitnya). Pukul21.00 wb, akhirnya kondisi anak saya semakin kritis & meninggal dunia.
Tgl 30 Agustus 2010, Alhamdulilah putra kedua kami lahir pada pukul18.30 WIB dengan BB 3,5 Kg dan PB 49 cm. Kami beri nama MUHAMMAD RIDWAN ABDUSSALAM.
Pagi harinya dokter mengatakan bahwa anak kami harus dirujuk ke SARDJITO, dengan alasan perut kembung dan belum BAB.
Bisa dibayangkan betapa hancur hati saya saat itu. Saya pun meninggalkan jaminan STNK motor agar bisa keluar dari klinik itu. Sesampainya di RSUD Sardjito, anak saya langsung masuk ruang NICU. Dokter anak yang merawat mengatakan bahwa anak saya memiliki lubang anus, namun terjadi penyumbatan di usus dan harus segera operasi. Akhirnya ridwan dioperasi untuk dibuat lubang pada perut agar bisa BAB
Saat itu, aku pikir bisa pulang setelah 1minggu. Tapi apa yangg terjadi.. Jahitan operasi di perut jebol, saya tak kuasa menahan tangis pilu.
Hari ke 10, operasi ulang.
Hari ke 15, jebol lagi.
Katanya albumin rendah,kekebalan tubuh anak saya jelek. Allahuakbar..kuatkan saya untuk menceritakan ini semua.
Jebol nya semakin melebar & membentuk lingkaran seperti lingkaran gelas kecil (gelas air zamzam).
Anak saya mengalami pendarahan dan koma selama 5 hari. Segala obat di masukkan termasuk transfusi darah hampir tiap hari. Sampai menghabiskan pendonor kurang lebih 10 orang.
Alhamdulilah hari ke 28, dia bangun dari koma. Dokter bilang anak ibu kuat, sebuah keajaiban dari Allah.
Tapi paginya, tanggal 28 september 2010, Ridwan kembali kritis & akhirnya meninggal dunia pada pukul 6 pagi. Kedua kalinya saya kehilangan buah hati tanpa sempat menyusuinya lebih lama.
Sebelum hamil ke 3 saya tes TORCH di HI LAB. Alhamdulilah dokter bilang IgM Negatif semua & IgG ada yang positif tapi hamil lagi tidak apa-apa.
Saya pun hamil lagi dan setiap periksa, dokter selalu bilang bagus. Hanya yg terakhir waktu UK 42 minggu, dokter memutuskan saya harus menjalani persalinan secara sesar.
Tgl 31 Desember 2011 alhamdulilah anak ketiga kami lahir. Kami beri nama MUHAMMAD NAUFAL ARZAQY, dengan BB 3,2kg dan PB 50cm.
Umur setengah bulan nafas sesak lalu saya bawa ke Dsa dan menjalani perawatan selama 5 hari dengan biaya 4juta.
1minggu kemudian saya telfon klinik untuk menanyakan vaksinasi BCG. Perawat disana menyampaikan bahwa anak saya HARUS disuntikan vaksin pada umur 1bln.
Saya pun ketakutan terlambat & kami memutuskan untuk vaksinasi di PKU. Umur 2 bln mendapatkan vaksinasi DPT/POLIO 1 di klinik. Namun pasca vaksinasi daerah bekas suntikan menjadi bengkak & panas. Setelah saya berikan thrombogel & paracetamol kondisi membaik.
Umur 2,5 bln yaitu tanggal 10 maret 2012 mendapatkan vaksinasi Dpt2/polio2 dan pada saat itu perawat yang menyuntikkan tidak memeriksa kondisi Arza, melainkan langsung suntik. Sampai rumah kaki bengkak dan tidak panas.
Tgl12 Maret 2012, suami kembali membawa anak saya ke klinik tempat anak saya menerima vaksinasi. Disana dokter malah menyampaikan bahwa anak saya mengalami kebocoran ginjal dan ini bukan tanggungjawab kami.
Pagi Tgl 13 Maret semakin drop bengkak kaki merata. Pagi2 saya langsung shock & suami langsung pinjam mobil saudara utk melarikan Arza ke Dsa.
Arza di gendong ibu saya, suami tidak peduli lampu merah dia terjang. Saya teriak-teriak “kejar nyawa,kejar nyawa. minggir minggir” dari jendela mobil sambil menangis.Ya Allah bunda & panda kalau ingat waktu itu bikin saya ga bisa menahan airmata.
Sampai di Dsa di oxygen & di infus. Hasil pemeriksaan laboratorium memperlihatkan bahwa fungsi ginjal normal, tetapi harus tetap dirujuk ke SARDJITO lagi. Disana tertulis bahwa diagnosa anak saya adalah KIPI & PNEUMONIA.
Tanggal 15 Maret, kondisi Arza membaik & wajahnya sangat cerah. Setiap saya tanya ke dokter, beliau menjawab “sedang kita observasi”.
Tiba-tiba terjadi pendarahan melalui Pup nya. Dilakukan transfusi darah dan dokter mengatakan bahwa infeksi telah menyebar ke saluran cerna Arza.
Coba anda bayangkan.. Nilai Hb orang dewasa saja 12 kan, pada waktu Arza transfusi dalam waktu 3 jam 2 kantong, HB menjadi 20. Astagfiruloh..saya pun marah-marah sama dokter PICU. Kenapa anak saya jadi merah seperti itu dok.
Dokter hanya mengatakan bahwa kekebalan tubuh adik jelek. Saya pun hanya orang kecil yg hanya bisa diam dengan tindakan dokter. Saya tidak bisa apa2, hanya pasrah. Mau menuntut tidak punya uang. Jadi ya pasrah.
Malamnya Arza membaik setelah di masuki obat dari monoglobulin yg harganya 3,7juta 10ml nya, albumin & lain2nya.
Tetapi malam pukul 22.00 wib, kalau tdk salah, Arza kritis & akhirnya meninggal.
Waktu kritis ibu saya bilang “Cucu saya seperti ini krn vaksinasi kan dok”.
Semua dokter hanya diam.
Arza meninggal tanggal 22 maret 2012 dengan tersenyum bunda & panda.
Waktu itu pembayaran rencana memakai Jamkesda karena saya masih punya hutang 10juta di RS yg sama waktu perawatan Ridwan (kakak Arza).
Tetapi alhamdulilah 3hari setelah itu ada perwakilan dari DinKes ke rumah saya. Mereka bilang biaya Arza sebesar 30juta akan ditanggung pemerintah karena arza adalah korban KIPI. Pemerintah akan bertanggungjawab karena saya sudah mengikuti program pemerintah.
Inilah sedikit ringkasan cerita mengenai anak saya.
Saya minta doanya untuk semua agar saya masih dipercaya Allah untuk bisa punya anak lagi yang sehat, panjang umur & bisa menemani kami sampai akhir hayat kami. Aamiin..
Semoga cerita ini bermanfaat.
Maaf jika ada kesalahan penulisannya.
Rudiyanto&Siti Afifah
Jogyakarta, 10mei2012
KOMENTAR SAYA »
KIPI.. Satu nyawa bayi bukanlah mainan.. Jika memang vaksin aman, maka seharusnya tidak ada satupun nyawa yang harus dikorbankan. Cukup pantaskah alasan mengorbankan satu demi lebih banyak anak lagi? Jika bersandar pada teori “herd immunity / kekebalan komunitas”
Bgm jika yg dikorbankan adl anak kita sendiri, maukah kita? Bagaikan memberikan tumbal kepada seorang raksasa demi menyelamatkan penduduk satu desa.
Ayah bunda tentunya masih ingatkan kisah legenda anak2?
Bahkan akhir kisah itupun menyampaikan pesan moral bahwa tidak satupun nyawa manusia pantas utk menjadi tumbal demi keselamatan sebuah kelompok. Nah selamat berpikir dan berdoa..
Faktanya di lapangan kasus KIPI itu banyak sekali :-) Namun fakta di lapangan adl tidak semua kasus KIPI diakui sbg KIPI, hanya sekedar dinyatakan kebetulan atau bahasa kerennya “coincedence yang menurut seorang dokter anak hanyalah 0,9% atau ada penyakit ikutan (silent disease).
Yang anehnya, bukannya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti otopsi, untuk memastikan bahwa ini bukan KIPI - tp mereka tetap bersikukuh bahwa ini kebetulan. Korban KIPI paling banyak muncul di daerah perifer atau pinggiran, bukan kota besar.
Sayang tenaga kesehatan terlalu sombong untuk mengakui bahwa vaksin memiliki resiko. Minimal mengakui bahwa vaksin tidak 100% aman dan tidak 100% melindungi. Mereka tetap saja berkoar-koar vaksin aman, aman, dan aman.
Apakah menunggu anak kita jd korban untuk sadar bahwa vaksin terlalu beresiko?
Belum pernah dilakukan penelitian yang nyata dimana membandingkan kesehatan anak yang tanpa vaksin dan berasal dari orangtua yang tanpa vaksin dengan kesehatan anak dengan vaksin dan berasal dari orangtua dengan vaksin.
Pengalaman saya di lapangan, sebagai awal memutuskan untuk menolak vaksinasi adalah faktanya anak-anak tanpa vaksin lebih sehat daripada anak dengan vaksin. Dalam 1 tahun mengalami 10x common cold/flu/demam adalah menunjukkan adanya masalah dalam sistem imunitas anak.
Setelah membaca kisah bunda Afi diatas, saya jadi prihatin dengan kalimat ini »
“@dr_p:Knp lumpuh krn polio,radang otak krn tbc,leher dilobangi krn difteri ga ditakuti,tp KIPI yg jarang n ringan malah lbh ditakuti?”
Hmm.. Iya sih, bayi yang meninggal adalah kasus ringan karena orangtua tidak perlu sibuk melayani seumur hidup anaknya yang lumpuh total pasca vaksinasi.
Semakin prihatin dengan pendapat dr dokter anak inisial, F »
Vaksin tanpa KIPI tuh gimana caranya sih? Minum jamu aja bikin banyak kencing kok. Saya aja minum wedang jahe sendawa melulu. 100% kebal? Superman aja ada titik lemahnya kok.
Well doc, sebagai informasi terapi herbal memang memberikan reaksi kencing lebih banyak. Semua herbalis paham akan hal tersebut. Miris sekali jika membandingkan vaksin dengan weddang jahe (???). Superman hanya kisah fiktif alias khayalan, sedangkan KIPI adalah kisah nyata. Ini bayi loohhh.. Bukan batuu yaahh..
So, jadilah orangtua yang kritis.. Pelajari dengan baik dan berdo’a.
sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2012/05/11/kejadian-ikutan-pasca-imunisasi-kipi-relakah-anak-kita-menjadi-tumbal/
Sebelumnya perkenalkan nama saya Siti Afifah (afi), istri dari Rudiyanto, Jogyakarta. Kami menikah tgl 04 mei 08.
Alhamdulilah tanggal 28 maret putri pertama kami lahir dengan BB 3,6 dan PB 50cm. Kami beri nama ASHILA NAILI RACHMACH. Alhamdulilah saya berikan ASI.
Umur berapa, saya lupa, pernah saya periksakan ke bidan kenapa nafasnya grok2. Bidan bilang “tidak apa2, hanya flu biasa.” Umur 2,5bln kalau tidak salah mendapatkan vaksinasi DPT/POLIO. Pada saat itu, perawatnya bicara sendiri “panas ga ya.. panas..eeh ga panas deng..”
Karena akupun kurang paham pada waktu itu, kami pulang tanpa obat penurun panas. Ketika di rumah tiba-tiba panas,aku pun bingung. Lalu kami membawanya ke seorang dokter anak di salah satu RSKA, Jogyakarta. Biaya pemeriksaan yang kami bayarkan sebesar Rp 500.000,oo dan dokter menganjurkan agar anak kami dilakukan terapi sinar dua kali. Namun karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan serta suami berada di Jakarta, maka kami mengurungkan niat untuk terapi.
Tiba-tiba setelah selesai menyusu, anak saya muntah-muntah sangat banyak. Seingat saya hari itu adalah hari Jum’at, wajahnya membiru dan melemas. Akhirnya kami segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Lalu dirujuk ke PKU JOGYA jam 15.00. Hasil rontgen mengatakan bahwa Syila menderita pembengkakan jantung dan bronk .. ( maaf saya lupa nama penyakitnya). Pukul21.00 wb, akhirnya kondisi anak saya semakin kritis & meninggal dunia.
Tgl 30 Agustus 2010, Alhamdulilah putra kedua kami lahir pada pukul18.30 WIB dengan BB 3,5 Kg dan PB 49 cm. Kami beri nama MUHAMMAD RIDWAN ABDUSSALAM.
Pagi harinya dokter mengatakan bahwa anak kami harus dirujuk ke SARDJITO, dengan alasan perut kembung dan belum BAB.
Bisa dibayangkan betapa hancur hati saya saat itu. Saya pun meninggalkan jaminan STNK motor agar bisa keluar dari klinik itu. Sesampainya di RSUD Sardjito, anak saya langsung masuk ruang NICU. Dokter anak yang merawat mengatakan bahwa anak saya memiliki lubang anus, namun terjadi penyumbatan di usus dan harus segera operasi. Akhirnya ridwan dioperasi untuk dibuat lubang pada perut agar bisa BAB
Saat itu, aku pikir bisa pulang setelah 1minggu. Tapi apa yangg terjadi.. Jahitan operasi di perut jebol, saya tak kuasa menahan tangis pilu.
Hari ke 10, operasi ulang.
Hari ke 15, jebol lagi.
Katanya albumin rendah,kekebalan tubuh anak saya jelek. Allahuakbar..kuatkan saya untuk menceritakan ini semua.
Jebol nya semakin melebar & membentuk lingkaran seperti lingkaran gelas kecil (gelas air zamzam).
Anak saya mengalami pendarahan dan koma selama 5 hari. Segala obat di masukkan termasuk transfusi darah hampir tiap hari. Sampai menghabiskan pendonor kurang lebih 10 orang.
Alhamdulilah hari ke 28, dia bangun dari koma. Dokter bilang anak ibu kuat, sebuah keajaiban dari Allah.
Tapi paginya, tanggal 28 september 2010, Ridwan kembali kritis & akhirnya meninggal dunia pada pukul 6 pagi. Kedua kalinya saya kehilangan buah hati tanpa sempat menyusuinya lebih lama.
Sebelum hamil ke 3 saya tes TORCH di HI LAB. Alhamdulilah dokter bilang IgM Negatif semua & IgG ada yang positif tapi hamil lagi tidak apa-apa.
Saya pun hamil lagi dan setiap periksa, dokter selalu bilang bagus. Hanya yg terakhir waktu UK 42 minggu, dokter memutuskan saya harus menjalani persalinan secara sesar.
Tgl 31 Desember 2011 alhamdulilah anak ketiga kami lahir. Kami beri nama MUHAMMAD NAUFAL ARZAQY, dengan BB 3,2kg dan PB 50cm.
Umur setengah bulan nafas sesak lalu saya bawa ke Dsa dan menjalani perawatan selama 5 hari dengan biaya 4juta.
1minggu kemudian saya telfon klinik untuk menanyakan vaksinasi BCG. Perawat disana menyampaikan bahwa anak saya HARUS disuntikan vaksin pada umur 1bln.
Saya pun ketakutan terlambat & kami memutuskan untuk vaksinasi di PKU. Umur 2 bln mendapatkan vaksinasi DPT/POLIO 1 di klinik. Namun pasca vaksinasi daerah bekas suntikan menjadi bengkak & panas. Setelah saya berikan thrombogel & paracetamol kondisi membaik.
Umur 2,5 bln yaitu tanggal 10 maret 2012 mendapatkan vaksinasi Dpt2/polio2 dan pada saat itu perawat yang menyuntikkan tidak memeriksa kondisi Arza, melainkan langsung suntik. Sampai rumah kaki bengkak dan tidak panas.
Tgl12 Maret 2012, suami kembali membawa anak saya ke klinik tempat anak saya menerima vaksinasi. Disana dokter malah menyampaikan bahwa anak saya mengalami kebocoran ginjal dan ini bukan tanggungjawab kami.
Pagi Tgl 13 Maret semakin drop bengkak kaki merata. Pagi2 saya langsung shock & suami langsung pinjam mobil saudara utk melarikan Arza ke Dsa.
Arza di gendong ibu saya, suami tidak peduli lampu merah dia terjang. Saya teriak-teriak “kejar nyawa,kejar nyawa. minggir minggir” dari jendela mobil sambil menangis.Ya Allah bunda & panda kalau ingat waktu itu bikin saya ga bisa menahan airmata.
Sampai di Dsa di oxygen & di infus. Hasil pemeriksaan laboratorium memperlihatkan bahwa fungsi ginjal normal, tetapi harus tetap dirujuk ke SARDJITO lagi. Disana tertulis bahwa diagnosa anak saya adalah KIPI & PNEUMONIA.
Tanggal 15 Maret, kondisi Arza membaik & wajahnya sangat cerah. Setiap saya tanya ke dokter, beliau menjawab “sedang kita observasi”.
Tiba-tiba terjadi pendarahan melalui Pup nya. Dilakukan transfusi darah dan dokter mengatakan bahwa infeksi telah menyebar ke saluran cerna Arza.
Coba anda bayangkan.. Nilai Hb orang dewasa saja 12 kan, pada waktu Arza transfusi dalam waktu 3 jam 2 kantong, HB menjadi 20. Astagfiruloh..saya pun marah-marah sama dokter PICU. Kenapa anak saya jadi merah seperti itu dok.
Dokter hanya mengatakan bahwa kekebalan tubuh adik jelek. Saya pun hanya orang kecil yg hanya bisa diam dengan tindakan dokter. Saya tidak bisa apa2, hanya pasrah. Mau menuntut tidak punya uang. Jadi ya pasrah.
Malamnya Arza membaik setelah di masuki obat dari monoglobulin yg harganya 3,7juta 10ml nya, albumin & lain2nya.
Tetapi malam pukul 22.00 wib, kalau tdk salah, Arza kritis & akhirnya meninggal.
Waktu kritis ibu saya bilang “Cucu saya seperti ini krn vaksinasi kan dok”.
Semua dokter hanya diam.
Arza meninggal tanggal 22 maret 2012 dengan tersenyum bunda & panda.
Waktu itu pembayaran rencana memakai Jamkesda karena saya masih punya hutang 10juta di RS yg sama waktu perawatan Ridwan (kakak Arza).
Tetapi alhamdulilah 3hari setelah itu ada perwakilan dari DinKes ke rumah saya. Mereka bilang biaya Arza sebesar 30juta akan ditanggung pemerintah karena arza adalah korban KIPI. Pemerintah akan bertanggungjawab karena saya sudah mengikuti program pemerintah.
Inilah sedikit ringkasan cerita mengenai anak saya.
Saya minta doanya untuk semua agar saya masih dipercaya Allah untuk bisa punya anak lagi yang sehat, panjang umur & bisa menemani kami sampai akhir hayat kami. Aamiin..
Semoga cerita ini bermanfaat.
Maaf jika ada kesalahan penulisannya.
Rudiyanto&Siti Afifah
Jogyakarta, 10mei2012
KOMENTAR SAYA »
KIPI.. Satu nyawa bayi bukanlah mainan.. Jika memang vaksin aman, maka seharusnya tidak ada satupun nyawa yang harus dikorbankan. Cukup pantaskah alasan mengorbankan satu demi lebih banyak anak lagi? Jika bersandar pada teori “herd immunity / kekebalan komunitas”
Bgm jika yg dikorbankan adl anak kita sendiri, maukah kita? Bagaikan memberikan tumbal kepada seorang raksasa demi menyelamatkan penduduk satu desa.
Ayah bunda tentunya masih ingatkan kisah legenda anak2?
Bahkan akhir kisah itupun menyampaikan pesan moral bahwa tidak satupun nyawa manusia pantas utk menjadi tumbal demi keselamatan sebuah kelompok. Nah selamat berpikir dan berdoa..
Faktanya di lapangan kasus KIPI itu banyak sekali :-) Namun fakta di lapangan adl tidak semua kasus KIPI diakui sbg KIPI, hanya sekedar dinyatakan kebetulan atau bahasa kerennya “coincedence yang menurut seorang dokter anak hanyalah 0,9% atau ada penyakit ikutan (silent disease).
Yang anehnya, bukannya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti otopsi, untuk memastikan bahwa ini bukan KIPI - tp mereka tetap bersikukuh bahwa ini kebetulan. Korban KIPI paling banyak muncul di daerah perifer atau pinggiran, bukan kota besar.
Sayang tenaga kesehatan terlalu sombong untuk mengakui bahwa vaksin memiliki resiko. Minimal mengakui bahwa vaksin tidak 100% aman dan tidak 100% melindungi. Mereka tetap saja berkoar-koar vaksin aman, aman, dan aman.
Apakah menunggu anak kita jd korban untuk sadar bahwa vaksin terlalu beresiko?
Belum pernah dilakukan penelitian yang nyata dimana membandingkan kesehatan anak yang tanpa vaksin dan berasal dari orangtua yang tanpa vaksin dengan kesehatan anak dengan vaksin dan berasal dari orangtua dengan vaksin.
Pengalaman saya di lapangan, sebagai awal memutuskan untuk menolak vaksinasi adalah faktanya anak-anak tanpa vaksin lebih sehat daripada anak dengan vaksin. Dalam 1 tahun mengalami 10x common cold/flu/demam adalah menunjukkan adanya masalah dalam sistem imunitas anak.
Setelah membaca kisah bunda Afi diatas, saya jadi prihatin dengan kalimat ini »
“@dr_p:Knp lumpuh krn polio,radang otak krn tbc,leher dilobangi krn difteri ga ditakuti,tp KIPI yg jarang n ringan malah lbh ditakuti?”
Hmm.. Iya sih, bayi yang meninggal adalah kasus ringan karena orangtua tidak perlu sibuk melayani seumur hidup anaknya yang lumpuh total pasca vaksinasi.
Semakin prihatin dengan pendapat dr dokter anak inisial, F »
Vaksin tanpa KIPI tuh gimana caranya sih? Minum jamu aja bikin banyak kencing kok. Saya aja minum wedang jahe sendawa melulu. 100% kebal? Superman aja ada titik lemahnya kok.
Well doc, sebagai informasi terapi herbal memang memberikan reaksi kencing lebih banyak. Semua herbalis paham akan hal tersebut. Miris sekali jika membandingkan vaksin dengan weddang jahe (???). Superman hanya kisah fiktif alias khayalan, sedangkan KIPI adalah kisah nyata. Ini bayi loohhh.. Bukan batuu yaahh..
So, jadilah orangtua yang kritis.. Pelajari dengan baik dan berdo’a.
sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2012/05/11/kejadian-ikutan-pasca-imunisasi-kipi-relakah-anak-kita-menjadi-tumbal/