Sungguh disayangkan bila seorang muslimah tidak mengetahui atau memahami bagaimana begitu dimuliakannya derajat kaum wanita dalam Islam oleh Allah SWT. Segala bentuk perintah dan larangan Allah SWT kepada kaum wanita adalah sangat jelas untuk kebaikan dan manfaat bagi kaum wanita itu sendiri.
Allah SWT Maha Mengetahui akibat apa yang akan terjadi bila kaum wanita tidak diberi petunjuk dan dibatasi dengan larangan-larangan tertentu yang tentunya akan berakibat merugikan bakan membinasakan kaum wanita itu sendiri karena ketidaktahuannya terhadap kehidupan di dunia ini yang penuh jebakan-jebakan yang menjerumuskan pada kebinasaan kaum wanita.
Oleh karena itu janganlah kaum wanita punya anggapan bahwa perintah dan larangan Allah SWT adalah sebagai sebuah beban berat atau penjara ataupun beranggapan negatif itu semua hanyalah bentuk diskriminasi dalam Islam.
Ketahuilah, sesungguhnya perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah SWT tetapkan adalah untuk melindungi kaum wanita dari kebinasaan, dan sadarilah itu semua adalah bentuk dari kasih sayang dari Alla SWT kepada kaum wanita yang tidak menghendaki kaum wanita dizalimi, diperlakukan secara semena-mena dan direndahkan derajatnya.
- Kaum Wanita diabadikan sebagai nama dari salah satu surat dalam al-Qur’an
Kaum wanita mendapat kehormatan untuk diabadikan di dalam Al-Qur’an dengan menjadikannya sebagai salah satu dari nama surat yaitu An-Nisaa’ (yang berarti wanita atau perempuan). Sedangkan untuk kaum laki-laki tidak diketemukan nama surat yang secara gamblang menyebutkan kaum laki-laki (Ar-Rizal misalnya).
An-Nisaa’ adalah surat ke-4 Al-Qur’an dalam susunan mushaf Utsmani yang terdiri dari 176 ayat. Termasuk surat Madaniyyah (diturunkan di kota Madinah) dan yang terpanjang sesudah surat Al-Baqarah. Dinamakan An-Nisaa' karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita serta merupakan surat yang paling membicarakan hal itu dibanding dengan surat-surat yang lain. Surat yang lain banyak juga yang membicarakan tentang hal wanita ialah surat ke-65, Ath-Thalaq.
Dalam hubungan ini biasa disebut surat An Nisaa' dengan sebutan: Surat An-Nisaa' Al-Kubraa (surat An Nisaa' yang besar), sedang surat Ath-Thalaq disebut dengan sebutan: Surat An-Nisaa' Ash-Shughraa (surat An Nisaa' yang kecil). Oleh karena itu akan dinukilkan beberapa cuplikan dari surat An-Nisaa’ yang dapat menjadi bukti kasih sayang dan pembelaan Allah SWT terhadap derajat kaum wanita.
Contoh lainnya adalah surat Maryam, yaitu surat ke-19 dalam al-Qur’an yang mungkin bisa dijadikan salah satu simbol dari sosok kaum wanita yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Surat Maryam terdiri atas 98 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, karena hampir seluruh ayatnya diturunkan sebelum Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke kota Madinah, bahkan sebelum sahabat-sahabat beliau hijrah ke negeri Habsyi (Ethiopia sekarang). Menurut riwayat Ibnu Mas'ud, Ja'far bin Abi Thalib membacakan permulaan surat Maryam ini kepada raja Najasyi dan pengikut-pengikutnya di waktu ia ikut hijrah bersama-sama sahabat-sahabat yang lain ke negeri Habsyi.
Surat ini dinamai Maryam, karena surat ini mengandung kisah Maryam, ibu Nabi Isa as yang serba ajaib, yaitu melahirkan puteranya lsa a.s., sedang ia sebelumnya belum pernah dikawini atau dicampuri oleh seorang laki-laki pun.
Kelahiran Isa a.s. tanpa bapak, merupakan suatu bukti kekuasaan Allah SWT Pengutaraan kisah Maryam sebagai kejadian yang luar biasa dan ajaib dalam surat ini, diawali dengan kisah kejadian yang luar biasa dan ajaib pula, yaitu dikabulkannya doa Zakaria a.s. oleh Allah SWT, agar beliau dianugerahi seorang putera sebagai pewaris dan pelanjut cita-cita dan kepercayaan beliau, sedang usia beliau sudah sangat tua dan isteri beliau seorang yang mandul yang menurut ukuran ilmu biologi tidak mungkin akan terjadi.
- Tiga Kali Lebih Tinggi Derajatnya
“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’” (HR. Bukhari dan Muslim)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “
Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa” (Syarh Muslim 8/331)
Ayah sebagai kaum laki-laki telah dikodratkan oleh Allah SWT sebagai pemimpin keluarga karena punya beban tanggung jawab yang berat, yaitu menafkahi dan membimbing keluarganya.
Lalu mengapa Rasulullah SAW menempatkan sosok ibu sebagai kaum wanita punya derajat kehormatan yang tinggi dibandingkan sosok Ayah? Karena ibu ternyata punya beban tanggung jawab yang lebih berat lagi, bahkan tidak sedikit dalam keadaan mempertaruhkan nyawa antara hidup dan mati.
Saat mengandung, sang ibu dengan sabar dan ikhlas merelakan sebagian “tubuhnya” untuk diberikan kepada bayinya. Sehingga tidaklah aneh bila tubuh seorang ibu lebih cepat menurun kondisinya dibandingkan sosok seorang ayah.
Bebannya yang lebih berat ditanggung seorang ibu, sudah sepantasnya mendapat kehormatan yang lebih besar lagi. Begitu beratnya dan mulianya tanggung jawab seorang ibu, hingga Allah SWT mengabadikannya di dalam al-Qur’an yang salah satunya termaktub dalam ayat berikut ini:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (Q.S. Luqman 31:14)
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: 'Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri'" (Q.S. Al-Ahqaaf 46:15)
- Kaum Laki-laki Diharuskan Bersabar dan Berlaku Lembut Terhadap Kaum Wanita
Rasulullah saw memerintahkan kaum laki-laki untuk memahami dengan baik karakter wanita dan memaklumi dengan sabar kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Rasulullah saw menggambarkannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “
Dalam hadits ini ada dalil dari ucapan fuqaha atau sebagian mereka bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hadits ini menunjukkan keharusan berlaku lembut kepada wanita, bersikap baik terhadap mereka, bersabar atas kekurangan-kekurangan yang dimiliki kaum wanita. Di samping juga menunjukkan dibencinya mentalak mereka tanpa sebab dan juga tidak bisa seseorang berambisi agar si wanita terus lurus. Wallahu a’lam” (Al-Minhaj, 9/299)
Jadi mau tidak mau kaum laki-laki harus bersabar dengan kodrat wanita, salah satu dari bentuk dari kesabaran tersebut adalah Allah SWT memerintahkan kaum laki-laki untuk memperlakukan wanita dengan baik:
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut” (Q.S. An-Nisaa` 4:19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: “perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama”
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (Q.S. Al-Baqarah 2:228)
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menjelaskan derajat berlaku lembut terhadap kaum wanita melalui sebuah hadits berikut ini:
“
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 2/173)
- Bila Tidak Bisa Berlaku Adil, Nikahi Satu Wanita Saja
Sebelum Islam muncul di tanah Arab, poligami sudah lama terjadi, bahkan tidak hanya di tanah Arab saja, para raja-raja atau kaisar banyak beristrikan berpuluh-puluh jumlahnya, bahkan oleh para nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu poligami termaktub pula dalam kitab-kitab suci terdahulu sebelum kitab Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi.
Jadi budaya poligami sudah ada sebelum Islam muncul. Diutusnya Rasulullah saw dan diturunkannya ayat An-Nisaa’ ke-3 tersebut, justru untuk lebih menyempurnakan perlindungan terhadap wanita.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. An-Nisaa’ 4:3)
Sekalipun Allah SWT memperbolehkan kaum laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, tetapi haruslah ingat bawasannya penekanannya ada pada kemampuan kaum laki-laki untuk berlaku adil, bila tidak mampu untuk berlaku adil, maka Allah SWT memerintahkan untuk cukup menikahi satu perempuan saja. Perintah tersebut adalah bukti bagaimana Allah SWT melindungi kaum wanita dari teraniaya karena perbuatan tidak adil dari kaum laki-laki.
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba.
Berkenaan dengan ketidakmampuan kaum laki-laki dalam hal adil batiniah, Allah SWT menegaskan kodrat ketidakmampuan kaum laki-laki dalam firman-Nya sebagai berikut:
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar” (Q.S. An-Nisaa` 4:129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “
Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah”
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan pula, “
Apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, ’sehingga kalian biarkan yang lain telantar’ maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang laki-laki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Ini adalah sebuah bentuk perlindungan dari Allah SWT kepada kaum wanita dari kodrat kekurangan kaum laki-laki yang tidak akan bisa adil dalam perkara batiniah.
- Kaum Laki-laki Tidak Boleh Membenci Kaum Wanita Sekalipun Dalam Kondisi Tidak Menyukainya
Kodrat kekurangan dari kaum laki-laki lainnya adalah ketidakmampuannya dalam memahami potensi kebaikan kaum wanita yang menjadi istrinya. Untuk melindungi kaum wanita dari kodrat kekurangan kaum laki-laki tersebut, Allah SWT kembali menegaskan kepada kaum laki-laki dalam firman-Nya:
“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Q.S. An-Nisaa` 4:19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan: “
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut dimaksudkan dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka dianjurkan bagi si suami untuk tetap bersabar memaklumi kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir (2/173) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “
Mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat. Sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang ayat ini: ‘Si suami mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak’”
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan kaum laki-laki untuk tidak terburu-buru menghakimi atau membenci istrinya karena mungkin kaum laki-laki tidak memahami atau menyadari kebaikan-kebaikan lainnya yang ada pada istrinya:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridho (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “
Hadits ini menunjukkan larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya” (Al-Minhaj, 10/58)
- Wanita Punya Hak Mahar Dalam Pernikahan
Dalam Islam, ternyata kaum wanitalah yang hanya punya hak untuk mendapat mahar dan ini tidak terjadi pada kaum laki-laki. Hal ini termaktub jelas sebagai perintah Allah SWT kepada kaum laki-laki pada surat An-Nisaa’:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (Q.S. An-Nisaa’ 4:4)
Ayat ini cukup menjadi bukti bahwa Allah SWT begitu memperhatikan kesejahteraan kaum wanita dengan hak penuh terhadap mahar.
Allah SWT membela dan melindungi kaum wanita dari kemungkinan eksploitasi kaum laki-laki dengan melarang kaum laki-laki mengambil alih atau meminta kembali bahkan mencicipi mahar tersebut terkecuali atas seijin dari kaum wanita yang memiliki mahar tersebut.
“Dan jika kalian ingin mengganti istri kalian dengan istri yang lain sedang kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali sedikitpun dari harta tersebut. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (Q.S. An-Nisaa` 4:20-21)
- Allah Memuliakan Derajat Wanita Dalam Hal Warisan
Jaman jahiliah sebelum Islam muncul, baik di tanah Arab ataupun di negara lain, wanita tidak punya hak waris sama sekali (mungkin terkecuali bagi wanita bangsawan atau keturunan raja). Bahkan yang lebih parah lagi, wanita disamakan dengan harta benda.
Bila suatu keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya atau suatu suku yang dikalahkan dalam suatu peperangan (ini terjadi di hampir seluruh belahan bumi), harta kekayaan dan wanita menjadi barang yang menjadi objek semena-mena. Laki-laki yang mewarisi, bisa saja menjadikan para wanita atau istri-istri tersebut menjualnya, menikahinya atau menjadikannya sebagai budak pekerja, sebagaimana tak ubahnya harta benda.
Begitu rendahnya derajat kaum wanita saat itu yang tiada beda dengan benda. Kemudian Allah SWT menganugerahi manusia dengan lahirnya agama Islam yang mengubah budaya rendah tersebut. Simak salah satu ayat yang dapat menjadi bukti bagaimana Allah SWT mengangkat derajat kaum wanita:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ayah-ibu dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisaa` 4:7)
Dalam ayat ini sangat jelas penegasan dari Allah SWT bahwa kaum wanita punya hak terhadap harta warisan dengan turunnya ayat ini, budaya yang merendahkan kaum wanita wajib dihilangkan.
Begitupun dalam hal memperlakukan kaum wanita sebagai harta benda, Allah SWT melarang keras perbuatan tersebut sebagaimana turunnya ayat sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa” (Q.S. An-Nisaa` 4:19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma menyebutkan, “
Dulunya bila seorang lelaki di kalangan mereka meninggal, maka para ahli warisnya berhak mewarisi istrinya. Jika sebagian ahli waris itu mau, ia nikahi wanita tersebut dan kalau mereka mau, mereka nikahkan dengan lelaki lain. Kalau mau juga, mereka tidak menikahkannya dengan siapa pun dan mereka lebih berhak terhadap si wanita daripada keluarga wanita itu sendiri. Maka turunlah ayat ini dalam permasalahan tersebut” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 4579)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan pula bahwa ayat ini diturunkan untuk menghilangkan apa yang dulunya biasa dilakukan orang-orang jahiliah dari mereka dan agar wanita tidak dijadikan seperti harta yang diwariskan sebagaimana diwarisinya harta benda. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/63)
Sekalipun kaum wanita tidak dibebani dengan kewajiban untuk menafkahi keluarga, namun Allah SWT tetap memberikan hak harta warisan yang proporsional. Oleh karena itu sebagai bentuk keadilan, Allah SWT langsung menetapkan porsi untuk masing-masing kaum wanita dan laki-laki, yaitu 1 banding 2, porsi 1 untuk laki-laki kadarnya sama dengan porsi untuk dua kaum wanita. Porsi lebih kepada kaum laki-laki sudah proporsional dengan beban berat tanggung jawabnya dalam kewajiban untuk menafkahi keluarga.
“Allah mewasiatkan kepada kalian tentang pembagian warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…” (Q.S. An-Nisaa` 4:11)
Kaum laki-laki akan protes mengingat kaum wanita yang tidak punya beban kerja menafkahi tetapi tetap mendapat harta warisan, Allah SWT menjawabnya dengan porsi bagian kaum laki-laki lebih besar dari wanita. Itulah bentuk pembelaan yang adil dari Allah SWT untuk kaum wanita.
Disarikan dari: Mukadimah Al-Qur'anul Karim Departemen Agama RI, artikel Asysyariah.com, dan Buletin At-TauhidPhoto courtesy: The old woman with cheerful face by Mehmet Akin