Suatu ketika Rasulullah SAW, pernah dihadiahi seorang dokter oleh gubernur Romawi yang berkuasa di Mesir. Seminggu pertama telah berjalan, dokter ini tidak mempunyai pasien. Dalam benak sang dokter ini, dia menduga mungkin dirinya belum di kenal secara luas di masyarakat Madinah waktu itu. Dia bersabar menunggu waktu barang satu bulan. Ternyata keadaannya sama, hampir dikatakan tidak ada pasien yang datang berobat kepadanya. Sang dokter ini mencoba bersabar lagi siapa tahu setelah satu bulan hingga menginjak bulan ke dua juga menjumpai banyak pasien sebagaimana yang dia alami di daerah-daerah lain sebelumnya ketika melakukan praktik kedokteran. Ternyata juga mengejutkan hampir dikatakan tidak ada pasien yang berobat padanya. Tiga bulan sudah, sang dokter harus banyak menganggur karena tidak ada pekerjaan yang berarti yang dapat dia lakukan sebagai seorang dokter. Bahkan Rasulullah SAW, seorang pemimpin negara Madinah, orang yang beliau “kawal” kesehatannya pun tidak sakit sama sekali dalam masa tiga bulan, waktu yang dibutuhkan sang dokter untuk merasa tersiksa karena mendapatkan “status pengangguran intelektual”.
Apa Rahasianya hingga dokter “tidak laku”?
Mempunyai Perilaku Diet yang Sehat
Hal ini sudah terjawab di akhir masa tugas sang dokter yang bertanya kepada Rasulullah SAW “apa rahasia yang menyebabkan kalian ini suatu kaum yang hampir dikatakan tidak pernah sakit?” kemudian Rasulullah SAW menjawab “kami adalah suatu kaum yang tidak makan sebelum kami lapar dan berhenti makan sebelum kami kenyang”.
Peluang olah raga terbuka sangat lebar bagi setiap orang
Pada waktu itu teknologi transportasi belum secanggih sekarang. Transportasi saat itu yang utama adalah kuda dan unta. Dapat dikatakan dengan keadaan seperti itu kecelakaan relatif sedikit dan tidak sehebat dampaknya seperti yang dialami sekarang. Karena transportasi yang “tidak nyaman” seperti kuda, membuat si pengendara harus “ikut menaik dan menurunkan” badan agar bagian vitalnya tidak “terbentur-bentur” punggung kuda. Berarti orang yang menunggang kuda termasuk berolah-raga. Seperti yang pernah diceritakan seorang teman kepada saya. Kata beliau, menunggang kuda selama satu jam itu sama capeknya dengan olah raga jogging selama satu jam. Dapat dikatakan dengan kondisi masyarakat seperti itu, cukup waktu dan dosis olah raga yang membuat seseorang menjadi bugar dan lebih tanggap dalam menyelesaikan tugas-tugas harian dalam pekerjaan.
Modal sosial yang luar biasa hebatnya.
Cerita berikut menunjukkan betapa modal sosial masyarakat waktu itu demikian spektakuler.
Suatu ketika Ubaidah bin Shamit menerima hadiah, dan beliau memiliki keluarga sebanyak 12 orang. Kemudian sahabat Ubaidah berkata, pergilah kalian dengan hadiah ini kepada keluarga fulan, karena mereka lebih membutuhkan hadiah ini daripada saya. Kemudian Wahid bin Ubadah membawa hadiah ini kepada keluarga lain. Akan tetapi, ketika ia telah sampai pada keluarga tersebut, mereka mengatakan hal yang sama. Begitu seterusnya, akhirnya hadiah itu kembali pada keluarga Ubadah sebelum waktu subuh. Dalam riwayat lain, khalifah Umar ra, pernah mendapatkan hadiah dari gubernur di Azerbaijan, Utbah bin Farqad. Kemudian utusan itu ditanya oleh khalifah: ”Apakah semua masyarakat di sana menikmati makanan ini?” Utusan itu menjawab : ”Tidak wahai Amirul Mukminin, ini adalah makanan khusus”. Khalifah berkata: ”Bawalah hadiah ini, kembalikan kepada pemiliknya, dan katakan padanya, ’Bertakwalah kepada Allah, kenyangkanlah kaum Muslimin dengan makanan yang engkau makan hingga kenyang.”[1]
Apa kaitannya modal sosial dengan kesehatan?
Sejenak kita buka sebentar teori mengenai apa modal sosial itu. Intinya modal sosial tersusun atas tiga atribut modal sosial yaitu, elemen kepercayaan (trust), kemudian jejaring (network) dan yang ketiga adalah norma sosial pertukaran (reciprocity). Rasa percaya (trust) didasari pada sebuah rasa keyakinan bahwa orang lain akan memberikan respons seperti yang diharapkan dan akan bekerja dalam cara yang saling mendukung dan menguntungkan (reciprocity), atau sedikitnya tidak akan berniat membahayakan orang lain. Untuk networking bisa bersifat berbentuk social organization misalnya dalam bentuk kegiatan posyandu, PKK, pengajian dan social network dengan bentuk rumit hubungan antar orang dalam sebuah komunitas. Rumit mencerna ya? Lebih mudahnya saya tampilkan ilustrasi berikut
Sebuah komunitas di Amerika Serikat sebagaimana diceritakan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Outlier[2] bisa menggambarkan bagaimana modal sosial itu berfungsi. Komunitas yang diceritakan oleh Gladwell ini adalah sebuah kota kecil Roseto yang hampir sebagian besar warganya berasal dari Italia terletak di sebuah perbukitan Pensylvania. Yang menarik mengenai kota Roseto dibandingkan komunitas-komunitas kota lain di Amerika adalah angka kejadian penyakit jantung koroner sangat rendah. Padahal menurut pengamatan Wolf, dokter ahli digestif yang diceritakan Gladwell, perilaku yang ditunjukkan warga Roseto sama dengan perilaku warga kota-kota lain. Proporsi obesitas, perokok berat dan makan dengan komposisi lemak tidak ideal lebih sering dijumpai di kota Roseto ini. Wolf, heran dengan fenomena yang dia amati. Apa yang membedakan Roseto dengan komunitas kota-kota lain di Amerika yang menyebabkan kejadian penyakit jantung koroner sangat rendah?
Rahasianya ada di dalam kota Roseto sendiri! Yaitu modal sosial yang tinggi. Warga Roseto saling berkunjung satu sama lain, berhenti mengobrol dalam bahasa Italia di jalan atau memasak untuk tetangganya di halaman belakang rumahnya. Wolf lebih lanjut mengamati, banyak rumah yang ditinggali tiga generasi keluarga dan sangat hormat kepada para kakek dan nenek. Kota Roseto ini sangat religius, bagaimana gereja benar-benar menjadi pemersatu yang luar biasa. Kota pada tahun pengamatan Wolf ini berpenduduk dua ribu orang mempunyai 22 organisasi sosial. Budaya egaliter sangat mewarnai interaksi sosial antar warga, sehingga orang kaya tidak bernafsu untuk memamerkan kekayaannya bahkan lebih berambisi menolong orang-orang yang tidak mampu. Saat pertama kali melihat komunitas ini, Wolf melihat makanan dimakan orang-orang sebanyak tiga generasi di sebuah rumah, dijumpai berbagai toko kue dan roti, orang berjalan-jalan, duduk di beranda dan bercakap-cakap antara satu dengan yang lain, pabrik pakaian tempat para wanita bekerja sementara para lelaki bekerja di pabrik batu sabak.
Ternyata secara sosial komunitas di zaman Rasulullah SAW di Madinah tidak berbeda jauh dengan apa yang diceritakan Malcolm Gladwell, bahkan itsar (altruisme) yaitu mementingkan orang lain walaupun seseorang ini sangat membutuhkan menjadi hal yang lazim di komunitas kota Madinah. Bila memasak dan aroma masakan tercium sampai tetangga, mereka memperbanyak kuah agar bisa dibagikan. Saling berbagi hadiah dengan tetangga adalah hal lumrah, bahkan sehari lima kali para warga saling bersosialisasi lewat sholat lima waktu. Dapat dikatakan masyarakat Madinah mempunyai modal sosial yang sangat tinggi. Sehingga dapat dikatakan ada dua profesi yang bakal “bangkrut” pada komunitas seperti Madinah, yaitu profesi dokter dan pengacara. Karena “tidak ada” orang yang sakit dan “tidak ada” orang yang saling tuntut, karena masing-masing saling menghargai dan saling mengerti hak dan kewajiban.
Kondisi spiritual yang prima
Tidak dapat dibantah lagi, kondisi spiritual para sahabat dan warga Madinah umumnya saat itu berada dalam kondisi yang sangat prima. Dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri setiap hari selalu melakukan sholat tahajud di luar sholat wajib lima waktu. Banyak berpuasa, banyak berdzikir, dan tawakal mengikuti setiap urusan yang sudah diusakan secara maksimal. Dan saat ini telah terkumpul banyak bukti yang menghubungkan komitmen pada nilai-nilai spiritual dengan baiknya status kesehatan.
[1] Diambil dari Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 1996, Al-Idaarah fil Al-Islam; Edisi Indonesia, Manajemen Syariah, 2006, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta
[2] Malcolm Gladwell; 2009; Outliers The Story of Success; edisi Indonesia Outliers Rahasia di Balik Sukses, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta