bukan sekali dua pula ia muncul begitu saja di depan rumah kami membawa setandan pisang di pagi buta setelah perjalanan menggunakan kereta koboi meski bis biasa akan jauh lebih nyaman
satu momen yang tak pernah dapat kulupa adalah saat atas permintaan ia membawaku (berjalan kaki tentunya) menyusuri trotoar disamping pagar putih yang memanjang antara diponegoro-salemba, kami berhenti tepat didepan aesculap dan ia membopongku agar dapat menggengam jeruji pagarnya, kufikir-fikir sekarang itu mungkin momen yang paling tepat bagi Ubaidillah memanjatkan doa yang melesat ke langit dan baru terkabul bertahun kemudian
ya bukan mustahil itulah yang sebenarnya terjadi meski tidak mungkin lagi sekarang aku mendapat konfirmasi, cermin kepribadiannya telah retak dan memori itu terkubur bersama bayangan dirinya, biarlah itu menjadi rahasia antara dirinya dan Tuhan, menjadi amalan soleh baginya yang terus mengalir.
bertahun sudah aku mengamati dirinya dengan kacamata profesional, melihat belief yang berkembang menjadi waham, berusaha memahami ketakutan-ketakutannya, menyesali kesendirian hidupnya dan nasib yang memperlakukannya demikian kejam serta kebodohan yang mengungkung dirinya...hampir-hampir tidak ada yang dapat dilakukan kecuali satu hal yang sedang ku pertimbangkan matang-matang di belakang kepala
memulai terapi antipsikosis untuk Ubaidillah adik ibuku.....