Bila dokter tidak bisa menjadi tauladan perilaku sehat
Perkembangan di masyarakat, sering kita jumpai hal-hal yang memrihatinkan secara kesehatan. Salah satu perilaku masyarakat yang menonjol dan tampaknya “pemberantasannya” seperti meruntuhkan batu kerang yang terjal, walaupun ombak sudah ribuan tahun mengikisnya, tetap saja batu karang terjal itu masih kokoh berdiri, walaupun sudah ada jejak-jejak pengikisannya. Gambaran ini sangat tepat untuk menggambarkan “pemberantasan” perilaku merokok. Dalam konteks Indonesia, “karang terjal” perilaku merokok semakin kokoh dan tegar seiring makin kencangnya aktivis anti merokok melancarkan kampanyenya. Semua event musik, olah raga dan event lain yang mengundang berkumpulnya anak-anak muda sudah habis tanpa sisa telah “diborong” oleh perusahaan rokok. Meskipun banyak orang yang makin sadar akan bahaya merokok, ternyata peringatan bahaya merokok seperti angin lalu yang makin menyejukkan suasana merokok bagi perokok berat. Anehnya, justru diantara perokok berat adalah dokter sendiri. Hanya dokter spesialis paru saja yang saya yakin tidak ada yang perokok apalagi perokok berat. Saya melihat di sini terdapat benang merahnya. Jadi dokter yang mengampanyekan perilaku sehat bebas merokok, malah dia sendiri yang memimpin merokok, bahkan menjadi perokok berat nomor wahid.
Senior saya adalah seorang dokter umum yang perokok berat. Dalam satu kali rapat yang memakan waktu sampai satu setengah jam, beliau bisa menghabiskan hampir satu bungkus. Karena merasa lebih yunior, saya dan teman hanya bisa membiarkan dan menjadi perokok pasif yang tidak kalah berat dengan senior yang perokok berat. Pernah suatu ketika, setelah melalui proses yang membuat kami menjadi lebih dekat, beliau saya lontarkan pertanyaan, “dok, dokter perokok berat itu ga takut dilihat pasien?” dia menjawab, “Lho, saya kan hanya berperan sebagai penunjuk jalan saja. Memberitahu orang agar tidak merokok. Menganjurkan orang agar berperilaku sehat. Yaa ....seperti penunjuk jalan ‘Semarang ke kanan 150 km’. Perkara orang mengikuti petunjuk jalan atau tidak... ya terserah kepada mereka”. Dalam hati saya berkata, “Oo...jadi nasehat dokter yang diberikan kepada pasien-pasiennya selama ini sama dengan ‘penunjuk jalan’ saja”. Apakah ini efektif mempengaruhi perilaku pasien agar mereka berubah dan berkomitmen terhadap perilaku sehat. Toh pasien dan keluarganya adalah manusia dewasa dan memiliki kebebasan memilih dan bertanggungjawab penuh terhadap pilihan-pilihan yang telah mereka tentukan.
Perilaku dokter lain yang bertentangan dengan nasehat yang umumnya diberikan dokter, misalnya perilaku makan yang berlebihan. Seorang teman renang saya yang pengusaha meubel, pernah bercerita, dia mempunyai customer dari Jakarta yang profesinya adalah dokter bedah. Customernya yang dokter bedah ini beberapa kali datang ke solo, entah ada acara pertemuan ilmiah atau ada acara lain. Setiap ke Solo, hampir pasti teman saya yang pengusaha meubel ini dihubungi untuk diajak makan-makan. Makanan favoritnya adalah tengkleng dan sate kambing. Porsinya tidak tanggung-tanggung dua piring. Si pengusaha meubel ini sebenarnya mengkhawatirkan mengenai pola makan sang dokter bedah ini. “Dok, ga takut dengan kolesterol dan penyakit semacamnya?” dokter bedah ini menjawab dengan enteng “don’t worry mas, saya sudah bawa obatnya kok”. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah orang awam itu lebih memperhatikan perilakunya ketimbang apa yang dinasehatkan dokter pada umumnya?
Menjawab dua pertanyaan ini saya teringat kisah yang diceritakan seorang teman yang kebetulan adalah ustadz dan seorang hafidz (hafal) Al-qur’an 30 juz. Guru tempat ustadz teman saya menimba ilmu dan memperbaiki bacaan dan hafalan Al-qur’an, juga seorang hafidz, seorang lembut, dan tawadhuk. Selalu menjaga hati dan perilakunya agar tidak melakukan perbuatan yang sia-sia, seperti menggunjing kekurangan orang, marah, dan ngresulo (selalu mengeluh). Beliau meyakini, menghidupkan perasaan dan perilaku seperti itu akan mudah merontokkan hafalan Al-qur’an yang selama ini dijaga agar tidak lupa. Guru ustadz teman saya ini, saat dikisahkan berusia sudah lanjut, serta biasa dipanggil kiyai oleh masyarakat luas.
Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun datang bersama ibunya dibawa ke tempat pak Kiyai guru ustadz teman saya ini. Yang menjadi kegelisahan ibu sang anak adalah, bahwa sang anak ini mempunyai kebiasaan aneh, yang mungkin dikenal oleh kalangan dokter dengan istilah obsesive kompulsif, yaitu suka memakan gula pasir. Dalam sehari menurut cerita si ibu, bisa menghabiskan gula pasir sebanyak 4 – 5 kg. Sudah dibawa kemana-mana dan sudah diperiksakan ke dokter termasuk ke dokter spesialis.
Saat di datangi anak 9 tahun yang didampingi si ibu ini, dalam benak pak Kiyai, langsung muncul memori surat Ash-shaf ayat 2 – 3, Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan sesuatu yang tidak pernah kalian kerjakan; Maka Allah sangat murka terhadap apa yang kalian katakan sedangkan kalian sendiri tidak pernah mengerjakan. Kemudian pak Kiyai berkata kepada ibu dan sang anak. “Seminggu lagi datang ke sini, mau saya kasih nasehat”. Ibu dan anak bergegas pamitan menuju daerah asalnya Ponorogo, sedangkan tempat pak Kiyai ini tinggal adalah Kudus.
Selama seminggu ini, yang dilakukan oleh pak Kiyai adalah mencoba untuk tidak menyenangi makanan yang manis [bergula]. Pak Kiyai meminta bu Nyai untuk tidak membuatkan teh manis. Dan meminta agar bu Nyai sesedikit mungkin menyajikan makanan yang manis/mengandung gula kepada beliau. Karena penasaran bu Nyai menanyakan perilaku yang diluar kebiasaan pak Kiyai tersebut. Pak Kiyai menjawab dengan dua ayat Al-qur’an dalam surat Shaff tersebut, dan menerangkan satu minggu lagi akan menasihati anak agar tidak suka memakan gula.
Satu minggu yang telah dijanjikan telah tiba. Ibu dan sang Anak datang jauh-jauh dari Ponorogo menuju Kudus, untuk mendapatkan pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh sang anak. Perjumpaan dengan pak Kiyai ini membuat sang ibu benar-benar terkejut dan tidak percaya bahwa pak Kiyai tidak mengasih apa-apa, seperti minuman air putih atau doa-doa. Pak Kiyai hanya bilang “Le [panggilan anak laki-laki dalam bahasa Jawa],..kamu jangan suka makan gula ya!” kemudian ibu dan anak tersebut disuruh pulang. Dengan perasaan yang sebenarnya tidak puas, hanya mendapatkan nasehat, akhirnya ibu dan sang anak pulang. Setelah sampai rumah, apa yang terjadi? Secara mengherankan anak tadi ketika ibunya mengingatkan “Le, gulanya udah ibu siapkan” sang anak menjawab ”Aku tidak suka gula lagi bu!” Si anak benar-benar sembuh tidak memakan gula dalam jumlah banyak lagi seperti sebelumnya.
Kembali ke pertanyaan semula, efektifkah dokter yang memberikan nasehat yang berperan hanya sebatas sebagai “penunjuk jalan”? Saya termasuk orang yang meyakini seperti apa yang diyakini pak Kiyai, kita dulu harus merubah perilaku kita, sebelum kita menasehati pasien.