Sistem yang membuat dokter tidak berdaya
Barusan selesai melakukan injeksi insulin pada bapak Arjo yang berumur 65 tahun, dokter muda Ahmad, harus melongokkan wajahnya menuju sumber suara.
“Mas Co-aaaas, ada pasien baru di UGD” teriak bu Marni dengan lantang dari ‘base camp’nya di ruang perawat.
“Iyaa buu..terima kasih, saya akan ke sana” sahut Ahmad dengan mempercepat derap langkah kakinya.
Sesampai di UGD..
Seorang pasien pria, bernama bapak Sastro berumur 50 tahun, badan kurus, tetapi mempunyai riwayat menderita diabetes melitus, dan saat ini masih mengonsumsi obat antidiabet, datang dalam keadaan tidak sadar. Ahmad, melakukan pemeriksaan vital sign, pekerjaan rutin yang dilakukan pada setiap pasien yang masuk. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 80 kali per menit, respiration rate 18 kali per menit. Ahmad selanjutnya menulis kondisi pasien di status, dan mengisi blanko permintaan pemeriksaan laboratorium, kemudian ia mengambil darah sebanyak 5 cc. Setelah menelefon dokter senior untuk mendapatkan persetujuan rencana tindakan yang akan dilakukan, Ahmad segera memerintahkan laboran untuk melakukan pemeriksaan laboratorium, dengan membawa blanko yang sudah diisi Ahmad. Tindakan lain yang sudah dilakukan sebelumnya adalah memasang jalur infus pada pasien tersebut.
Lima menit kemudian telefon dokter jaga UGD berdering.
“mas dokter, kadar gula darah pak Sastro hanya 80 mg/dL” suara dari laboran terdengar di ujung telefon yang dipegang Ahmad.
“O iya, terima kasih ya mas” sahut Ahmad.
Mendengar laporan dari bagian laboratorium, Ahmad segera menelfon kembali dokter senior, dan mendapatkan instruksi untuk melakukan injeksi glukosa D 40% per bolus, yaitu injeksi lewat jalur infus yang sudah dipasang sebelumnya.
Ahmad selanjutnya menulis resep dan menyerahkan kepada perawat, sambil memberi instruksi injeksi tersebut.
“bu, dapat instruksi dari dokter Hadi, untuk dilakukan injeksi D 40 per bolus segera bu”
“Injih mas dokter, mohon maaf mas dokter, untuk D 40, UGD sedang kehabisan stok, jadi harus diambil sendiri oleh keluarga pasien di apotik bangsal. Jadi resep ini saya kasihkan ke keluarga pasien njih” kata bu Tuti perawat jaga UGD.
“ndak apa apa bu, asal diberitahukan kepada keluarga pasien, ini keadaan gawat darurat, harus cepat mendapatkan obat itu, kalau ndak bisa merenggut nyawa pak Sastro” kata Ahmad mendengar penjelasan bu Tuti.
“Injih mas dokter”
Sepuluh menit telah berlalu, tidak seperti biasanya, harusnya obat sudah diinjeksikan kepada pasien. Ternyata tidak dijumpai pada pasien ini. Ahmad merasa gelisah dengan keadaan ini. Segera ia bergegas menuju apotik bangsal, tempat seharusnya pasien tadi.
Melihat wajah Paijo, keluarga pak Sastro dalam keadaan lesu, semakin menambah penasaran Ahmad mengenai apa sebenarnya yang terjadi.
“Obatnya sudah dibeli mas?”
“Saya ga bawa uang sama sekali, sementara kartu tidak mampu baru bisa diurus besok”
“Jadi?”
“Obat belum bisa saya bawa”
Merasa tidak puas dengan penjelasan mas Paijo, Ahmad ‘menyerobot’ kertas resep dan langsung menghadap petugas apotik yang hanya terhalang kaca gelap dengan lubang pembayaran.
“mbak tahu ga, ini ada pasien gawat, yang nyawanya bisa kita selamatkan dengan obat ini” kata Ahmad kepada petugas dengan menunjuk-nunjuk blanko resep yang dibawa dengan tangan kanannya.
“Iya.. saya tahu... tapi prosedurnya kalo ga bawa kartu tanda tidak mampu tidak bisa dilayani. Prosedurnya kayak begitu mas!”
“Tapi prosedur tidak kaku seperti itu kan!” bantah Ahmad dengan nada keras
“Iya mas, kemarin ada yang seperti ini, saya dapat peringatan, karena tidak ada yang membayar” balas petugas Apotik tidak kalah sengit
“Udah gini aja, saya yang nanggung, saya tinggal KTP dan Kartu Mahasiswa Saya” bentak Ahmad.
“Tapi harus ninggalin uang dulu, minimal separohnya”
“Berapa?” tanya Ahmad kembali
“semuanya dengan infus set, dan obat-obatan lainnya yang sudah masuk, dua ratus lima puluh ribu rupiah”
“berapa?”
“Kalo segede itu, saya ga ada, saya kan masih anak kost. Ya udah saya beli yang D 40 aja. Berapa mbak?” tanya Ahmad dengan nada yang mulai merendah.
“Kalo ini saja, ya empat puluh ribu rupiah”
“Ya udah itu saja” kata Ahmad kembali
Setelah mendapatkan obat D 40, Ahmad bergegas lari menuju UGD. Dan.......
Dia sangat kecewa ternyata pak Sastro sudah meninggal dunia. Innalillaahi wainna ilaihi roji’un.
...............................................
Dokter dan profesional kesehatan dan petugas-petugas yang menyertai tugas-tugas dokter sering kali terperangkap dalam sistem yang membuat mereka tidak berdaya sebagaimana yang dialami oleh Ahmad, seorang dokter muda, pada kasus di atas. Pihak rumah sakit, sering kali mengalami kasus-kasus yang mirip dengan ilustrasi kasus di atas, beberapa diantaranya di-blow up di media, sehingga membuat citra rumah sakit atau institusi pelayanan itu menjadi buruk dan tidak mengenal unsur kemanusiaan sama sekali.
Munculnya kasus-kasus yang mirip-mirip dengan kasus di atas hanyalah hilir dari permasalahan pendanaan kesehatan di Indonesia. Ada akar permasalahan hulu yang bersifat sistematis dan secara nasional bermasalah di sini, yaitu sistem pendanaan untuk biaya kesehatan dan kesakitan untuk semua warga. Permasalahan ini tidak sendiri. Kalau kita lihat jatah kesehatan dari APBN saja, untuk kesehatan kita hanya dijatah kurang dari 5 persen. Bagaimana bisa mengatasi semua permasalahan pembiayaan kesehatan yang ada. Jangankan rumah sakit swasta, rumah sakit negeri saja agar bisa “survive” dengan mengandalkan anggaran yang kurang dari 5 persen tidak akan cukup. Belum lagi ‘ambisi’ pemerintah-pemerintah daerah yang menjadi rumah sakit umum daerah sebagai ‘sapi perah’ sumber pendapatan asli daerah, semakin memperbesar jumlah kasus ‘pasien mati gara-gara tidak mampu’ seperti pada kasus di atas. Maka tidak mengherankan beberapa waktu yang lalu kita dengar bahwa, rumah sakit daerah X terpaksa menunda puluhan operasi yang sudah direncanakan gara-gara tidak jelas bagaimana sumber pendanaannya. Siapa yang mau menanggung miliaran rupiah kerugian ini?
Saya tidak menyangkal pengaruh kapitalisme dalam pelayanan kesehatan hingga unsur-unsur pemasoknya. Sistem ini sudah demikian besar dan kuat. Beberapa waktu yang lalu, banyak aktivis AIDS yang masuk bui, gara-gara disomasi perusahaan farmasi multinasional dianggap melanggar hak paten. Mereka dianggap melanggar hak paten, karena telah ‘membajak’ obat produk perusahaan multinasional, sehingga bisa dihasilkan obat antiretroviral untuk HIV/AIDS dalam jumlah masif dan murah, sehingga bisa dijangkau oleh negara-negara Afrika yang miskin yang warganya banyak menderita HIV / AIDS.
Saya tidak membela siapa-siapa dan tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya bisa berharap ada penyelesaian sistematis yang berskala nasional untuk masalah ini.