Percikan-percikan air ombak menghasilkan butiran-butiran air laut yang terbang ke mana-mana. Sebagian hinggap di karang, garam-garamnya yang ganas dan pekat mengikis secara pelan-pelan dan pasti, menghasilkan permukaan batu karang yang tajam. Setajam tombak-tombak prajurit Majapahit. Mampu merobek kulit siapa saja yang menyentuhnya secara tidak hati-hati. Sebagian yang lain terbang, laksana bidadari putih yang mengepakkan sayapnya menggapai pesona terik matahari dan diterbangkan oleh goyangan angin yang menggoda, melayang menyusuri langit, pergi ke tempat nun jauh di sana. Akhirnya mereka bertemu bergandengan tangan membentuk gumpalan semisal kapas-kapas yang diterbangkan angin. Mereka nikmati indahnya perjalanan melayang-layang yang melalaikan itu. Menyapa pepohonan, membelai bongkahan-bongkahan batu pegunungan, menyisiri lembah, menerjang bukit, menyalami puncak-puncak gunung, menyibak karang-karang terjal yang kokoh, sekokoh para mustaqimin, yang teguh dan sabar untuk memegang janjinya pada Robbi, sebelum mereka membuat pesta besar membentuk mendung-mendung yang membuncah tak terkira. Karena takdirlah yang membuat mereka berubah menjadi hujan yang menebarkan sejuta harapan. Menghidupkan kembali tanah-tanah mati yang gersang. Membuat suka cita para petani. Memberikan sejumput karunia Robbi yang Maha Luas.
Air-air itu tumpah kemana-mana. Sebagian masuk ke tubuh tumbuhan, sebagian menjadi bagian hidup hewan, manusia bahkan hingga hewan atau tumbuhan yang hanya terdiri dari satu sel. Sebagian lagi menjadi butiran-butiran yang memadati ruang udara, hinggap di ujung-ujung daun menjadi embun.
Sebagian yang tidak hinggap menutupi pandangan manusia, dinamailah mereka itu dengan nama kabut. Sebagian mereka menyusup jauh, menggelinding di sela-sela butiran-butiran tanah, memasuki rongga besar dalam perut bumi, dan keluar lagi ke permukaan bumi menjadi mata air dalam perjalanan panjang tiga puluh tahun. Mereka menjalani siklus tiga puluh tahunan.
Sebenarnya perbandingan air yang diwakili lautan dengan daratan, seluruh benua dan pulau-pulau, lebih banyak airnya. Perbandingannya hingga mencapai tujuh puluh persen lebih banyak air. Demikian pula di dalam tubuh kita air yang menggenangi sel-sel dalam tubuh kita dalam jumlah yang setara. Juga tujuh puluh persen. Kalau air di laut rasanya asin karena komposisi garam jauh lebih besar berada di sana, air yang menggenangi sel-sel kita juga jauh lebih asin dari pada air yang berada di dalam sel. Subhanallah. Maha Sempurna. Sebuah arsitektur yang Maha Memperhatikan sampai detil-detil terkecil.
Begitulah Allah SWT memberikan ketetapan qadarnya pada air. Terkadang aku berpikir, nasibku itu seperti air. Aku tidak tahu pasti, apakah aku seperti butiran air yang mana. Apakah aku ditakdirkan menjadi seperti air yang tertambat diujung daun di saat remang cahaya subuh sebelum turun ke tanah atau menguap lagi terbang bersama awan. Atau aku termasuk butiran air yang menyesap di sela-sela tanah masuk di dalamnya mengikuti siklus tiga puluh tahunan. Ataukah aku ini laksana butiran-butiran air yang menjadi hujan deras menghidupi tanah-tanah gersang. Ataukah takdirku berpindah-pindah berkelana dari laut menuju langit, menjadi hujan dan masuk ke perut bumi, keluar lagi ke permukaan menjadi mata air dalam tiga puluh tahun. Itulah takdir.
Aku hanya bisa berusaha, berdoa, dan bertawakal kepadaNya. Aku banyak belajar hidup dari bapakku sendiri. Menurutnya nasib kita tergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang kita sengaja biasakan. Orang menjadi pintar karena dia membiasakan dirinya melakukan hal-hal yang membuat dia menjadi pintar. Orang menjadi usahawan, karena dia membiasakan diri melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi pintar sebagai pengusaha. Orang menjadi olah ragawan ternama karena dia menyengajakan diri melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi seorang olah ragawan. Orang menjadi bodoh dan miskin karena dia tidak melakukan hal apa-apa yang membuatnya menjadi bisa berpindah dari takdirnya sekarang.