Kembali kepada pertanyaan dasar, mengapa semula orang Indonesia yang tidak merokok bahkan asing dengan tanaman tembakau, menjadi penggila rokok. Situs DepKes menyebutkan orang Indonesia membakar uang Rp. 500 juta hanya untuk merokok.[1] Mengapa merokok menjadi sebuah wabah atau epidemi yang permanen. Mengapa merokok menghasilkan “ras baru” dengan berbagai varian “suku” merokok dari sekian banyak orang Indonesia. “Ras merokok” dengan penyusunnya “suku-suku” merokok tertentu adalah hasil dari epidemi permanen tersebut. Kalau dirinci “suku-suku” merokok itu seperti “suku” yang suka konkow-konkow, berani tampil beda, jiwa pemberontakan, mengekspresikan yang membuat dirinya berbeda dan tampak cool dan cute abis akan dipersatukan oleh merek rokok seperti Mezzo, X-mild, Star-Mild atau A-Mild. Sedangkan “suku” yang menyukai sesuatu yang klasik, original, dan menjadi tradisi lama, pencinta kemapanan dipersatukan oleh merek rokok seperti Dji Sam Su, Gudang Garam filter dan Djarum Coklat. Ada juga “suku” anak muda yang lebih “ndeso” suka kepada kebersamaan, keguyuban, mengorbankan diri untuk kepentingan orang lain yang sangat membutuhkan dan ke-“rame-rame”annya dipersatukan oleh warna hijau Sampurna Hijau atau warna merah Gudang Garam Merah. Di luar “suku-suku” yang telah terbentuk itu, ada budaya yang mendukung persatuan ras merokok baik di rural maupun di perkotaan. Kalau di rural, budaya tahlilan, kondangan, yasinan, belum lengkap kalau belum disajikan rokok yang ditaruh di dalam gelas dan diedarkan kepada khalayak yang hadir. Di perkotaan, sebagai wujud solidaritas kelompok atau pertemuan anak muda atau orang tua dibuktikan dengan saling tukar-menukar rokok satu sama lain. Jadi, rokok sudah menjadi semacam bagiau budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat, yang bermula dari epidemi yang menetap.
Jadi… mengapa “suku-suku” perokok itu banyak pengikutnya? Gosip?
Di awal-awal berdirinya rokok Dji Sam Su beredar gosip.. seorang haji di daerah Rembang yang menderita sakit batuk-batuk lama dan tidak sembuh-sembuh, walaupun sduah berobat kemana-mana. Mengejutkan, menurut gosip tersebut, setelah merokok Dji Sam Su batuknya langsung sembuh. Gosip ini tersebar meluas di daerah pesisir utara baik Jawa Tengah dan Jawa Timur.[2] Siapa yang diuntungkan dengan gosip itu? Tentu saja perusahaan rokoknya PT HM Sampoerna! Omzet penjualan Dji Sam Su meroket dan terus bertahan lama hingga sekarang. Konon berkembang pula gosip penyanyi pop Nugie yang membuat suaranya bisa mencrong adalah karena merokok Dji Sam Su. Keadaan ini, menurut Alex Wipperfürth dalam bukunya Brand Hijack[3], merek Dji Sam Su telah dibajak oleh komunitas konsumennya. Pemasaran tidak dilakukan perusahaannya sendiri tetapi diambil alih oleh konsumennya.
Alasan lain? “ritual suku”? Jadi keren? Hangat?
Cara merokok Dji Sam Su ada ritualnya, membuka dengan membelah bungkus dari tengah. Menyembulkan bungkus Marlboro dari saku bajunya agar orang bisa melihat. Dengan melakukan begitu “para anggota suku” Dji Sam Su atau Marlboro merasa keren. Atau para pengguna mobil VW combi yang kebetulan penggemar berat rokok Djarum Coklat akan merasa menjadi anggota piramida atas “suku” Djarum Coklat. Jadi dengan melakukan ritual-ritual merek rokok itu seolah-olah mereka menjadi anggota khusus yang eksklusif. Ritual-ritual lain seperti menggunakan bahasa prokem yang khas, yang menjadi perekat bersatunya komunitas “suku” itu. Bahasa ini bisa atas inisiatif komunitas itu baru ditegaskan lewat iklan secara besar-besaran atau sengaja sejak awal diciptakan oleh perusahaan rokok setelah menangkap adanya kelompok komunitas tertentu dengan karakter tertentu. Bahasa yang muncul dari inisiatif kelompok, seperti istilah-istilah jadul (orang kuno atau kepanjangan dari jaman dulu) untuk merujuk orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Demikian juga bahasa-bahasa rumit dalam SMS (short message service dalam bahasa arab risalah qirot) seperti CUL8R untuk mengakhiri sesi-sesi chatting lewat SMS. CUL8R dibaca dalam bahasa Inggris menjadi see you letter. Dengan ritual-ritual yang eksklusif akan memancarkan rasa bangga yang ditunjukkan keluar ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Semakin mereka menjadi pusat perhatian kelompok di luar mereka, mereka semakin memiliki kebanggaan tersendiri. Tetapi ini mempunyai efek menarik lebih banyak orang yang semula berada di luar komunitas menjadi orang dalam komunitas.
Ada hal menarik yang diungkapkan oleh Alex Wipperfürth dalam buku yang sama bahwa anggota atau orang luar yang mau masuk dalam komunitas “suku” itu pada awalnya bukan tertarik karena manfaat atau kegunaan merokok, melainkan karena komunitas itu seperti tim pelayanan “suku” yang ramah dan hangat – merupakan umpan yang menarik orang untuk masuk. Setelah beberapa saat barulah orang mulai terlibat dalam proses kreasi bersama membantu membentuk makna budaya dari “suku” itu. Karena itulah saya pernah menjumpai segerombolan remaja SMP yang “ndeso” sangat bersemangat bersorak-sorak “ijo…ijo…ijo” ketika truk Sampoerna Hijau sedang melaju dihadapan mereka.
Karena Itu Kampanye Tidak Merokok = de-Epidemi Budaya Merokok
Hasil akhir kampanye tidak merokok pada prinsipnya tidak hanya sekedar “meneriaki” orang yang merokok agar tidak merokok, melainkan mengurai atau membuyarkan epidemi budaya merokok yang sudah demikian mengakar. Upayanya harus sistematis, perlu perencanaan yang matang, penggunaan sumber daya yang memadai dan pemantauan yang terstruktur. Karena itu, (tidak mengecilkan usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan) tidak serta merta dengan membubuhi bungkus rokok dengan tulisan “PERINGATAN PEMERINTAH : MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”, serta membatasi jam tayang iklan, serta tidak boleh menampilkan wujud rokok dalam iklan di televisi, membuat orang jera untuk tidak merokok lagi. Yang perlu dipahami bagi pembuat kebijakan kampanye tidak merokok, bahwa merokok adalah perilaku yang tidak berdiri sendiri. Dalam melakukan kampanye tidak hanya sekedar iklan atau pendidikan dan ceramah kesehatan saja. Tetapi lebih dari itu, ada usaha de-Epidemi budaya merokok, dalam arti mengurai perluasan epidemi budaya merokok. Bila perlu ada usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok yang membuat budaya merokok itu menjadi kuno, tidak keren dan jadul.
Perlu pula mengidentifikasi para pembuat epidemi atau seperti yang dikatakan Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point, orang-orang yang berperan sebagai trend setter.[4] Martin Raymond, mencirikan orang-orang ini sebagai simpul budaya. Umumnya kita mampu berinteraksi tanpa beban dengan angka ajaib 150 orang, sedangkan para trend setter, mampu berinteraksi dengan nyaman tanpa hambatan dengan 500 orang.[5] Selain usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan, perlu kiranya secara sistematis membangun hubungan erat dengan para tokoh trend setter atau simpul budaya ini. Untuk kasus ini dapat kita lihat betapa besar pengaruh Oprah Winfrey dalam memengaruhi puluhan juta wanita di dunia tentang apa yang harus mereka konsumsi, buku yang harus mereka baca, serta gaya hidup mana yang harus diwujudkan oleh setiap wanita modern. Usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok berarti dia menebarkan suatu gagasan baru pada orang-orang yang sudah terlanjur nyaman dengan budaya lama yang telah dijalani. Bagaimana gagasan baru ini dapat berkembang? Seth Godin, penulis buku The Idea Viruses, menyarankan agar sebuah gagasan baru dapat menjadi virus yang menyebar seperti epidemi, maka usaha yang dilakukan adalah fokus pada penciptaan lingkungan dimana gagasan itu dapat berkembang biak dan menyebar. Virusnya yang bekerja, bukan pihak praktisi penyebar idenya.[6]
Dengan sumber daya yang ada, baik dokter maupun profesional kesehatan lainnya yang sadar melakukan usaha de-epidemi budaya merokok, maka prinsipnya tidak semua “suku-suku” yang ada dihantam begitu saja. Pilihlah mana yang paling dekat dengan diri Anda. Pilihlah trend setter yang dekat dengan Anda. Lakukan usaha bersama menciptakan budaya baru tidak merokok.
Wallahua’lam. Hanya sebuah skenario hipotetis.
[1] http://www.depkes.go.id/
[2] Hermawan Kartajaya, 4G marketing, MarkPlus&Co, 2005
[3] Alex Wipperfürth, Brand Hijack Pemasaran tanpa Pemasaran, Gramedia Pustaka Utama, 2006
[4] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
[5] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006
[6] Seth Godin, The Idea Viruses, alih bahasa : Aswita R Fitriani, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2006
Jadi… mengapa “suku-suku” perokok itu banyak pengikutnya? Gosip?
Di awal-awal berdirinya rokok Dji Sam Su beredar gosip.. seorang haji di daerah Rembang yang menderita sakit batuk-batuk lama dan tidak sembuh-sembuh, walaupun sduah berobat kemana-mana. Mengejutkan, menurut gosip tersebut, setelah merokok Dji Sam Su batuknya langsung sembuh. Gosip ini tersebar meluas di daerah pesisir utara baik Jawa Tengah dan Jawa Timur.[2] Siapa yang diuntungkan dengan gosip itu? Tentu saja perusahaan rokoknya PT HM Sampoerna! Omzet penjualan Dji Sam Su meroket dan terus bertahan lama hingga sekarang. Konon berkembang pula gosip penyanyi pop Nugie yang membuat suaranya bisa mencrong adalah karena merokok Dji Sam Su. Keadaan ini, menurut Alex Wipperfürth dalam bukunya Brand Hijack[3], merek Dji Sam Su telah dibajak oleh komunitas konsumennya. Pemasaran tidak dilakukan perusahaannya sendiri tetapi diambil alih oleh konsumennya.
Alasan lain? “ritual suku”? Jadi keren? Hangat?
Cara merokok Dji Sam Su ada ritualnya, membuka dengan membelah bungkus dari tengah. Menyembulkan bungkus Marlboro dari saku bajunya agar orang bisa melihat. Dengan melakukan begitu “para anggota suku” Dji Sam Su atau Marlboro merasa keren. Atau para pengguna mobil VW combi yang kebetulan penggemar berat rokok Djarum Coklat akan merasa menjadi anggota piramida atas “suku” Djarum Coklat. Jadi dengan melakukan ritual-ritual merek rokok itu seolah-olah mereka menjadi anggota khusus yang eksklusif. Ritual-ritual lain seperti menggunakan bahasa prokem yang khas, yang menjadi perekat bersatunya komunitas “suku” itu. Bahasa ini bisa atas inisiatif komunitas itu baru ditegaskan lewat iklan secara besar-besaran atau sengaja sejak awal diciptakan oleh perusahaan rokok setelah menangkap adanya kelompok komunitas tertentu dengan karakter tertentu. Bahasa yang muncul dari inisiatif kelompok, seperti istilah-istilah jadul (orang kuno atau kepanjangan dari jaman dulu) untuk merujuk orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Demikian juga bahasa-bahasa rumit dalam SMS (short message service dalam bahasa arab risalah qirot) seperti CUL8R untuk mengakhiri sesi-sesi chatting lewat SMS. CUL8R dibaca dalam bahasa Inggris menjadi see you letter. Dengan ritual-ritual yang eksklusif akan memancarkan rasa bangga yang ditunjukkan keluar ketika berinteraksi dengan orang-orang yang berada di luar komunitas mereka. Semakin mereka menjadi pusat perhatian kelompok di luar mereka, mereka semakin memiliki kebanggaan tersendiri. Tetapi ini mempunyai efek menarik lebih banyak orang yang semula berada di luar komunitas menjadi orang dalam komunitas.
Ada hal menarik yang diungkapkan oleh Alex Wipperfürth dalam buku yang sama bahwa anggota atau orang luar yang mau masuk dalam komunitas “suku” itu pada awalnya bukan tertarik karena manfaat atau kegunaan merokok, melainkan karena komunitas itu seperti tim pelayanan “suku” yang ramah dan hangat – merupakan umpan yang menarik orang untuk masuk. Setelah beberapa saat barulah orang mulai terlibat dalam proses kreasi bersama membantu membentuk makna budaya dari “suku” itu. Karena itulah saya pernah menjumpai segerombolan remaja SMP yang “ndeso” sangat bersemangat bersorak-sorak “ijo…ijo…ijo” ketika truk Sampoerna Hijau sedang melaju dihadapan mereka.
Karena Itu Kampanye Tidak Merokok = de-Epidemi Budaya Merokok
Hasil akhir kampanye tidak merokok pada prinsipnya tidak hanya sekedar “meneriaki” orang yang merokok agar tidak merokok, melainkan mengurai atau membuyarkan epidemi budaya merokok yang sudah demikian mengakar. Upayanya harus sistematis, perlu perencanaan yang matang, penggunaan sumber daya yang memadai dan pemantauan yang terstruktur. Karena itu, (tidak mengecilkan usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan) tidak serta merta dengan membubuhi bungkus rokok dengan tulisan “PERINGATAN PEMERINTAH : MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN”, serta membatasi jam tayang iklan, serta tidak boleh menampilkan wujud rokok dalam iklan di televisi, membuat orang jera untuk tidak merokok lagi. Yang perlu dipahami bagi pembuat kebijakan kampanye tidak merokok, bahwa merokok adalah perilaku yang tidak berdiri sendiri. Dalam melakukan kampanye tidak hanya sekedar iklan atau pendidikan dan ceramah kesehatan saja. Tetapi lebih dari itu, ada usaha de-Epidemi budaya merokok, dalam arti mengurai perluasan epidemi budaya merokok. Bila perlu ada usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok yang membuat budaya merokok itu menjadi kuno, tidak keren dan jadul.
Perlu pula mengidentifikasi para pembuat epidemi atau seperti yang dikatakan Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point, orang-orang yang berperan sebagai trend setter.[4] Martin Raymond, mencirikan orang-orang ini sebagai simpul budaya. Umumnya kita mampu berinteraksi tanpa beban dengan angka ajaib 150 orang, sedangkan para trend setter, mampu berinteraksi dengan nyaman tanpa hambatan dengan 500 orang.[5] Selain usaha-usaha yang selama ini telah dilakukan, perlu kiranya secara sistematis membangun hubungan erat dengan para tokoh trend setter atau simpul budaya ini. Untuk kasus ini dapat kita lihat betapa besar pengaruh Oprah Winfrey dalam memengaruhi puluhan juta wanita di dunia tentang apa yang harus mereka konsumsi, buku yang harus mereka baca, serta gaya hidup mana yang harus diwujudkan oleh setiap wanita modern. Usaha penciptaan epidemi budaya tidak merokok berarti dia menebarkan suatu gagasan baru pada orang-orang yang sudah terlanjur nyaman dengan budaya lama yang telah dijalani. Bagaimana gagasan baru ini dapat berkembang? Seth Godin, penulis buku The Idea Viruses, menyarankan agar sebuah gagasan baru dapat menjadi virus yang menyebar seperti epidemi, maka usaha yang dilakukan adalah fokus pada penciptaan lingkungan dimana gagasan itu dapat berkembang biak dan menyebar. Virusnya yang bekerja, bukan pihak praktisi penyebar idenya.[6]
Dengan sumber daya yang ada, baik dokter maupun profesional kesehatan lainnya yang sadar melakukan usaha de-epidemi budaya merokok, maka prinsipnya tidak semua “suku-suku” yang ada dihantam begitu saja. Pilihlah mana yang paling dekat dengan diri Anda. Pilihlah trend setter yang dekat dengan Anda. Lakukan usaha bersama menciptakan budaya baru tidak merokok.
Wallahua’lam. Hanya sebuah skenario hipotetis.
[1] http://www.depkes.go.id/
[2] Hermawan Kartajaya, 4G marketing, MarkPlus&Co, 2005
[3] Alex Wipperfürth, Brand Hijack Pemasaran tanpa Pemasaran, Gramedia Pustaka Utama, 2006
[4] Malcolm Gladwell, 2000, Tipping Point; How Little Things Can Make a Big Difference, Edisi Indonesia, Tipping Point; Bagaimana Hal-hal Kecil Dapat Menghasilkan Perubahan Besar, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
[5] Martin Raymond, 2003, The Tomorrow People; Edisi Indonesia: The Tomorrow People; alih bahasa: Paul A. Rajoe; Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2006
[6] Seth Godin, The Idea Viruses, alih bahasa : Aswita R Fitriani, Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer, 2006