Menurut Grossman (1972), masing-masing individu melakukan produksi, menggunakan aneka input di “pasar”, untuk melipatgandakan stok kesehatan dalam tubuhnya sehingga jumlah hari-hari sehatnya (healthy days) bertambah, sekaligus “mengisi ulang” stok kesehatan yang berkurang (depleted, depreciated) akibat proses penuaan, iklim, penyakit, polusi, bencana alam, dan sebagainya. Aneka input kesehatan tersebut mencakup pelayanan kesehatan, makanan bergizi, gaya hidup, lingkungan pemukiman yang baik, dan sebagainya. Makin banyak jumlah makanan bergizi yang dikonsumsi, makin sehat individu. Makin baik pemukiman individu, makin tinggi derajat kesehatan individu. Demikian juga, makin banyak kuantitas pelayanan kesehatan yang dikonsumsi individu, makin tinggi status kesehatan individu.[1] [2]
Dengan melihat definisi Grossman di atas, maka pasien datang berobat ke dokter motivasi terbesarnya adalah ingin mengembalikan atau mendapatkan kembali hari-hari sehatnya yang hilang. Jadi pergi ke dokter hanyalah turunan dari kebutuhan utamanya memproduksi hari-hari sehatnya. Atau dapat pula dikatakan dokter hanyalah sebuah agen bagi pasien untuk memperoleh hari-hari sehatnya kembali. Dalam taraf ideal, mendapatkan kesehatan adalah hak setiap orang. Karena itu mendapatkan kesehatan adalah termasuk salah satu hak azasi manusia. Atau dapat dikategorikan mendapatkan pelayanan kesehatan adalah barang publik. Artinya setiap orang tanpa ada diskriminasi berhak memperolehnya secara gratis. Akan tetapi, sistem kesehatan yang dianut di negara kita, tidaklah demikian. Karena keterbatasan sumber daya pemerintah, sehingga sebagian, bahkan sebagian besar kebutuhan layanan kesehatan ini diserahkan kepada pihak swasta (70 – 80 % layanan kesehatan yang dikonsumsi masyarakat di Indonesia saat ini adalah layanan kesehatan swasta)[3].
Inilah tantangan dokter, bagaimana mengusahakan layanan kesehatan dari dokter baik pribadi maupun institusi layanan kesehatan pemerintah maupun swasta menjadi barang publik. Memenuhi hak setiap orang memperoleh kesehatannya. Mengusahakan layanan kesehatan menjadi public good (barang publik) akan menurunkan biaya kesehatan yang merupakan salah satu unsur biaya produksi. Bila biaya produksi turun, maka akan meningkatkan daya saing manusia Indonesia, karena rendahnya biaya produksi yang merupakan salah satu andil dari biaya kesehatan. Sebuah idealisme, yang menantang kita untuk mewujudkannya. Kenyataan memang banyak bukti yang menunjukkan bahwa kesehatan “hanya hak orang kaya dan punya uang” seperti ungkapan-ungkapan berikut :
……….Istriku bukan keluarga pasien, tapi ketika masuk ke sana si perawat bertanya, "Anda keluarga pasien? Sudah ada uang buat biaya pengobatan?"
………………………..
dulu aku pernah nolongin anak SMP korban tabrak lari pas sedang dlm perjalanan ke kantor. Aku minta tolong sama RS terdekat (kebetulan kejadiannya jg pas di depan RS itu), eh kata satpamnya,”wah susah mbak kalo nggak ada penjaminnya..”[4]
Alasan utamanya mereka sakit ingin sembuh. Ketika memilih tidak serta merta langsung membuat keputusan ada dokter yang tinggalnya dekat dengan rumahnya langsung berobat. Tidak! Dia butuh belajar dulu, apakah dokter yang berada di dekat tempat tinggalnya itu bisa dipercaya atau tidak. Tidak dipercaya? Ya. Mereka butuh bukti-bukti yang bisa mereka persepsi bahwa dokter yang praktik dekat tempat tinggalnya itu benar-benar bisa dipercaya dan kredibel. Hanya sedikit orang yang mau menjadi “kelinci percobaan” dan beranggapan semua dokter mempunyai kualitas yang sama dan terstandarisasi. Setelah melihat banyak orang yang sakit dan berobat ke dokter tadi bisa sembuh dan tertangani keluhan maupun penyakitnya maka, barulah ia memberanikan diri mempercayai dokter tadi. Butuh proses.
Kata kuncinya adalah kepercayaan. Dalam kehidupan sehari-hari ketika kita makan di warung Tegal, penjual makanan tidak akan memelototi Anda kan ketika Anda makan dengan santai mengambil lauk atau makanan ringan yang dihidangkan. Mereka tidak akan terus-menerus memelototi gerakan tangan Anda sembari menghitung-hitung berapa jumlah makanan yang Anda ambil. Mereka sepenuhnya percaya kepada kejujuran Anda berapa lauk yang Anda ambil untuk dihitung berapa rupiah yang harus Anda bayar kepada sang penjual. Lain halnya kalau penjual tidak percaya, Anda makan tidak akan nyaman. Terus dipelototin. Demikian juga di tempat-tempat lain.
Jadi inti pesan yang ingin saya sampaikan adalah adanya kepercayaan di antara kita sesama manusia akan membuat hidup ini begitu nyaman dan sangat murah. Sangat murah? Kalau penjual warung tegal itu tidak percaya dengan setiap orang yang makan di warungnya, tentu dia akan membayar lebih banyak pekerja yang berfungsi sebagai tukang “mata-mata” untuk menghitung berapa makanan tambahan yang Anda ambil. Berarti ada tambahan biaya yaitu menggaji tukang “mata-mata”. Dan hasil akhirnya tarif makan di warung Tegal akan sangat mahal. Demikian juga dengan berbelanja di toko, berbelanja menjadi tidak aman, sedang biaya untuk menjalankan operasional toko juga bertambah mahal karena adanya pengawasan “ekstra” terhadap pengunjung oleh karyawan tambahan.
Praktik dokter dalam suasana yang tidak ada budaya trust juga akan berbiaya mahal. Dokter akan mengeluarkan uang untuk asuransi “tuntutan” malpraktik, untuk jaga-jaga sewaktu-waktu ada tuntutan malpraktik dari pasiennya. Selain biaya asuransi, juga menganggarkan cadangan dana untuk menutup biaya dari jasa pengacara. Sebagai hasil akhirnya jasa praktik dokter menjadi bertambah mahal.
Dalam perspektif yang lebih luas, Francis Fukuyama, dalam bukunya Trust [5] menyebutkan bahwa mangkirnya kepercayaan dalam suatu masyarakat menyebabkan kinerja ekonomi yang buruk beserta implikasi-implikasi sosial yang menyertainya. Selanjutnya, Francis menyebutkan sebuah kasus berikut :
Di sebuah kota kecil di Italia selatan selama tahun 1950-an, Edward Banfield mencatat banyaknya warga negara kaya yang enggan untuk bersama-sama mendirikan sekolah atau rumah sakit, padahal kedua fasilitas umum ini sangat dibutuhkan oleh penduduk kota itu. Mereka juga emoh untuk membangun perusahaan, meskipun mereka meiliki kelimpahan modal dan buruh. Alasannya sederhana, mereka menganggap bahwa membangun fasilitas umum adalah kewajiban negara, bukan mereka.
Di bagian lain, mencontohkan, betapa negara sedemokratis Amerika terpaksa mengeluarkan lebih banyak anggaran negaranya ketimbang negara-negara industri lain untuk menahan lebih dari satu persen penduduknya di penjara dan mendanai program perlindungan polisi. Secara substansial, Amerika Serikat juga terpaksa membayar lebih banyak ketimbang yang dibayarkan Eropa atau Jepang untuk membayar pengacaranya, sehingga para warga negaranya bisa saling tuntut satu sama lain.
Trust atau kepercayaan yang tidak terbina dengan baik, juga memperburuk kinerja perusahaan atau suatu institusi. Hal ini dibenarkan oleh W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, dalam buku best seller-nya Blue Ocean Strategy [6], mencontohkan sebuah pabrik yang melanggar prinsip proses yang adil 3 E Engangement, Explanations, Expectation clarity. Engagement berarti melibatkan individu-individu dalam keputusan-keputusan strategis, explanation berarti bahwa setiap orang yang terlibat harus memahami kenapa keputusan strategis dibuat, dan expectation clarity bahwa pegawai harus tahu sedari awal standar apa yang akan digunakan untuk menilai mereka dan sanksi apa yang dijatuhkan untuk kegagalan. Pelanggaran yang dilakukan pabrik tadi adalah tidak melibatkan pegawai dalam keputusan-keputusan strategis yang secara langsung mempengaruhi mereka, mendatangkan konsultan asing yang tidak saja sekedar berbeda busananya, tetapi juga berbisik-bisik dan kasak-kusuk sesama mereka, ditambah sang manajer jarang hadir. Akibatnya muncul ketidak percayaan, walaupun strategi yang dihasilkan bagus, tetapi gagal dalam implementasi hanya karena ada prasangka yang seharusnya bisa diantisipasi sejak awal.
Dikatakan pula dalam buku yang sama bahwa individu mencari pengakuan terhadap nilai mereka, bukan sebagai “buruh”, “personalia”, atau “sumber daya manusia”, melainkan sebagai manusia yang diperlakukan dengan rasa hormat. Menurut kedua penulis ini pula, proses yang adil akan mendatangkan suatu rangkaian komitmen, kepercayaan dan kerja sama sukarela bukan sekadar sikap atau perilaku tetapi merupakan modal intangible (tidak berwujud fisik).
Hubungan yang dilandasi saling percaya
Idealnya hubungan dokter dan pasien dilandasi oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Pasien yang membutuhkan penyembuhan atas sakit yang diderita, sedangkan dokter adalah pihak lain yang sangat tahu mengenai kondisi sakit pasien. Keduanya sebagaimana diketahui terdapat kesenjangan pengetahuan yang sangat lebar. Karena itu butuh sesuatu untuk menjembatani jurang itu, yaitu adanya rasa percaya diantara kedua belah pihak. Pasien mempercayai bahwa dokter tidak mempermainkan dirinya, tidak berorientasi mengambil sebanyak keuntungan dari uang yang dikeluarkan pasien, tidak menjadi obyek penelitian yang tidak jelas resikonya, dan tidak melakukan pemeriksaan dan pemberian tindakan ataupun terapi secara sembrono, sudah dipertimbangkan secara matang, sesuai kompetensi yang dimiliki oleh dokter. Yang sangat ditekankan adalah bahwa dokter dan pasien secara prinsip secara bersama-sama berikhtiar dalam kepemimpinan sang dokter berusaha mencari kesembuhan atau berusaha meningkatkan kualitas hidup pasien.
[1] Bhisma Murti, Laksono Trisnantori, Ari Probandari, Atik Heru Maryanti, Deni Hardianto, Mubasysyir Hasanbasri, Titik Wisnuputri; 2006, Perencanaan dan Penganggaran untuk Investasi Kesehatan di Tingkat Kabupaten dan Kota, Gajah Mada University Press.
[2] Goodman, AC; Stano, M; Tilford, JM, 1998, Houshold Production of Health Investment*analysis and Aplications, MG_DOC June 17, 1998
[3] Wawancara pribadi dengan Bhisma Murti, September 2007
[4] Rumah Sakit Tetap Untuk Orang Kaya, Orang Miskin Lebih Baik Mati dan Cacat daripada Harus Berobat ke Rumah Sakit. http://exblopz.blogsome.com October 31, 2006 9:58 am
[5] Francis Fukuyama, 1995, Trust, The Social Vitues and the Creation of Prosperity, Edisi Indonesia, Trust; Kebajikan Sosial dan Pencipataan Kemakmuran, Penerbit Qalam, Nopember 2002
[6] W. Chan Kim dan Renée Mauborgne, 2005, Blue Ocean Strategy, Harvard Business School Publishing Corporation, Boston; Edisi terjemahan Indonesia, Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru), Penerjemah Satrio Wahono, Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, Januari 2006