hadiri. Biasanya jam segitu, aku sudah tidur, biar bisa bangun malam untuk sholat. Tetapi malam itu lain dari pada malam biasanya yang aku lalui. Kalau aku berada di Solo, kebetulan rumahku di pinggiran kota, perumahan mewah (mepet sawah), malam tidak hening sekali. Menyatu dengan alam, suara katak, jangkrik mendampingin kesunyian malam. Di hotel itu, di ruang lobi executive, suara juga tak kalah riuh dengan suara para lelaki non manusia. Diskusi yang tidak memberikan kesempatan pada mata untuk ngantuk walaupun barang sedetik, kecuali harus dengan melek. Karena yang didiskusikan berkaitan dengan perilaku moral sehari-hari semua yang melakukan halaqoh pada forum itu. Halaqoh itu dihadiri aku sendiri dan temanku seangkatan, dokter umum yang masih culun. Dokter ahli anak, dokter ahli bedah, dokter yang sudah PhD dan mereka semua petinggi perguruan tinggi penyelenggara pendidikan dokter.
"Dokter-dokter kita itu mau kita kemanakan tho?" ungkap dokter Eric yang ahli anak memulai diskusi.
"Sebentar, sebelum kita mendidik mahasiswa kita, kita harus bercermin bagaimana diri kita itu!" potong dokter Herman, yang diberi amanah Allah sebagai dokter bedah.
"Coba kita lihat bagaimana kita, dan para senior-senior kita berperilaku!" lanjut dokter Herman.
"Mengkampanyekan agar orang tidak merokok, sebagian dari kita malah menjadi perokok berat, ya termasuk saya" kemudian diiringi gelak tawa seluruh yang hadir. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan sambil mengingatkan dokter Eric.
"dokter Eric saja, tadi beliau cerita dengan saya dari Surabaya ke sini, naik "Sanbe Air" atau "Pfizer Air" pak Eric?" meledak lagi tawa dari seluruh peserta halaqoh malam itu.
Sanbe dan Pfizer adalah salah satu dari dua ratus lima puluhan pabrikan farmasi yang ikut meramaikan kompetisi dalam industri farmasi. Kami semua sudah sama mafhum mengenai maksud Sanbe Air atau Pfizer Air. Artinya memang perjalanan naik pesawat dari Surabaya ke Jogjakarta bisa menggunakan maskapai penerbangan Garuda, Sempati Air, Silk Air, Air Asia, Lion Air, Sriwijaya Air dan maskapai-maskapai lain. Tetapi yang membayar ongkos tiket itulah bisa jadi dari perusahaan farmasi Sanbe, Kalbe, Pfizer, Merck, Dexa, Bristol-Myers-Squibb, Novartis, UCB Pharma atau Abbot dan perusahaan farmasi lainnya. Jadi kompetisi dalam
industri farmasi, selain berlomba menemukan obat atau inovasi pengobatan, juga yang utama mengejar sumber pendapatan terbesar dari obat-obat yang diresepkan dokter. Untuk itulah, salah satu cara termudah merebut perhatian agar "dilirik" para dokter adalah memberikan berbagai fasilitas dan berbagai macam pendanaan. Toh karena obat tidak diiklankan, sehingga kemana lagi budget anggaran iklan di arahkan, kalau tidak ke yang memberi pengaruh yaitu dokter. Saya membayangkan, Unilever saja untuk satu produk, menganggarkan iklan sampai sebesar puluhan miliar per tahun, berapa besar yang dianggarkan pabrik obat itu untuk men-support aktivitas dokter.
Saya jadi teringat cerita dari detailer atau medical representative [wanita cantik atau pria yang berpenampilan menarik yang mendatangi dokter-dokter sebagai wakil dari perusahaan farmasi untuk menawarkan produk]. Pernah suatu ketika temannya sesama medical representative
kelabakan dan kebingungan.
"Lho kok bisa kebingungan mbak" tanya saya
"Jelas bingung dok, disuruh sama seorang dokter untuk mencarikan wanita yang mau diajak tidur, dan kami diminta untuk membayari!"
"Padahal, teman saya kan mana tahu dari mana mencari wanita-wanitaitu" astaghfirullah, naudzubillahi mindzalik
Perdebatan seru terus berlanjut di ruang lobi hotel, namun sejalan dengan semakin larutnya malam, pembicaraan akhirnya mengerucut pada satu kesimpulan :