Membaca blog mbak Lita Purba…saat menceritakan anaknya… ada istilah yang menggelitik hati saya …..”polisi daun” (Saya sudah minta izin beliau menggunakan istilah “polisi daun” untuk tulisan ini). Dalam iklan A Mild, seorang polisi menyamar dengan menutupi tubuhnya dengan daun sehingga pengemudi yang melanggar tidak melihat adanya polisi…. Dan perangkap berhasil…. Kena loh…. Maaf pak atau bu Polisi… saya menyebut “polisi daun” ini dengan polisi matre…. Mengintai mencari mangsa mendapatkan fulusnya….he he he…matre kaleee…
Ada kesamaan antara “polisi daun” dengan dokter matre…. Saya batasi dokter matre dalam hal ini, karena ia pekerja lepas…. Berarti penghasilannya akan bertambah bila “jam tayangnya” bertambah….. sama dengan “polisi daun” bila “jam tayangnya” bertambah berarti “fulus”nya juga bertambah… cuman ada bedanya…
DOKTER YANG PUNYA “JAM TAYANG” SANGAT TINGGI……BERESIKO!!!
Atul Gawande dalam bukunya Complications, menyajikan cerita seorang dokter bedah tulang dengan reputasi baik, yang dalam perjalanan selanjutnya mengalami penurunan kualitas layanan sampai terjadi kesalahan fatal yang seharusnya dapat dihindari. Mulai terjadi banyak tuntutan malpraktik, hingga banyak teman sejawat yang mulai menghindari tidak merujuk atau memberikan pasien kepada dokter tadi. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata jumlah kasus yang dipegang melampaui kemampuan profesionalnya. Ia bekerja delapan puluh, sembilan puluh, bahkan seratus jam per minggu selama lebih dari sepuluh tahun. Ia beristri dan punya tiga anak – yang sudah besar-besar – tetapi ia jarang bersama mereka. Jadwalnya sangat ketat, dan ia harus sangat efisien untuk menyelesaikannya semua. Akhirnya ia berada dalam tahap kelelahan mental, sesuatu yang biasa terjadi bagi profesi dokter, dan memulai kehidupan kelam dalam karir profesionalnya. Diperkirakan, pada suatu masa, sekitar 3 sampai 5 persen dari dokter yang berpraktik sebenarnya tidak layak menerima pasien.
Banyak dokter yang kehidupan profesionalnya mirip-mirip seperti yang dikisahkan oleh Atul Gawande. Jumlah kasus yang ditangani dan rentang waktu bekerja melebihi kemampuan profesional manusiawinya. Praktik di lebih dari tiga tempat praktik, bahkan ada yang sampai enam tempat praktik dan jarak antar tempat praktik mencapai puluhan kilometer. Dalam keadaan seperti itu, tentu sangat rawan terjadi kelelahan fisik maupun mental dan mempermudah terjadinya kesalahan laten yang berujung pada kejadian malpraktik.
Sudah begitu, masih banyak dokter yang membatasi masuknya dokter baru, secara logika akan mengurangi beban kerjanya. Bahkan beberapa dokter spesialis tertentu sebagaimana yang diungkapkan Laksono Trisnantoro (dalam dua bukunya Aspek Manajemen Rumah Sakit dan Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit) membentuk kartel, sehingga membatasi rumah sakit dalam suatu wilayah agar menggunakan dokter spesialis dalam jaringan kartelnya. Hasil akhirnya adalah beban kerja dokter yang ada tidak berkurang, bahkan cenderung bertambah, karena penduduk juga terus berkembang dan bertambah. Bhisma Murti bahkan menambahkan, mereka dengan sengaja mempertahankan kelangkaan, mempertahankan tarif dalam rentang yang tinggi, untuk mempertahankan keuntungan pribadi. Sebuah pertimbangan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi, ketimbang kepentingan banyak orang, apalagi kepentingan pasien yang menjadi pertimbangan utamanya ketika memilih profesi sebagai dokter.
Lalu BAGAIMANA DENGAN PASIENNYA???