Disahkannya UU No 24 tentang BPJS, yang merupakan perintah langsung UU No 40 tentang SJSN, telah membawa kabar gembira bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk di antaranya yang mendambakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial.
Betapa tidak, dengan diterapkannya undang-undang ini per 1 Januari 2014, diharapkan tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang terpaksa harus mengeluarkan uang dari dompetnya sendiri ketika ia membutuhkan pelayanan kesehatan dasar,baik di klinik,rumah sakit maupun di fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan lain. Menurut kedua undangundang tersebut,mulai Januari 2014 tersebut seluruh penduduk Indonesia (tak terkecuali dokter) wajib menjadi peserta jaminan sosial nasional (kesehatan).
Akibatnya, mereka diwajibkan membayar iuran jaminan kesehatan ke BPJS. Dengan ketentuan, penduduk yang mampu akan membayar sendiri, sementara bagi yang miskin atau tidak mampu, iurannya dibayarkan oleh negara. Karena itu pembayaran jasa pelayanan kesehatan/honorarium dokter telah dilakukan oleh BPJS kesehatan. Provider kesehatan pun tidak sembarangan, sebab ia harus bekerja sama dengan BPJS melalui kontrak disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dipenuhinya.
Artinya, BPJS harus betul-betul mengutamakan kepentingan pemilik dana, yakni penduduk/ pasien.Bersatunya penduduk dalam BPJS adalah merupakan kekuatan baru dalam menghadapi kekuatan pemilik fasilitas layanan kesehatan yang sudah lebih dahulu menjadi sebuah kekuatan, baik yang dikelola pemerintah maupun oleh swasta nasional serta swasta asing.
Menghadapi dua kekuatan besar di atas,boleh jadi dokter dan profesional kesehatan berada pada posisi sangat lemah. Dokter dan profesional kesehatan yang selama ini diberitakan sangat kuat karena dapat menentukan berbagai hal dalam pemberian pelayanan kesehatan tentu akan berubah. Rumah sakit yang dikendalikan dengan prinsip bisnis tentu selalu berharap mendapat untung besar dengan memanfaatkan dokter serta profesional kesehatan sebagai pencari uangnya.
Apalagi rumah sakit swasta modal asing di era liberalisasi jasa kesehatan. Sementara penduduk/pasien (BPJS) akan selalu menuntut kualitas pelayanan dan efisiensi pembiayaan. BPJS tidak boleh boros karena harus amanah, semua penerimaan dan pengeluarannya harus terukur dan transparan. Pasien melalui BPJS hanya akan membayar jasa dokter/rumah sakit bila pelayanan yang diterimanya bermutu, sesuai standar.
Karena itu BPJS pun seharusnya membayar honorarium atau jasa dokter dengan nilai yang pantas pula. Artinya dalam era SJSN, seharusnya dokter sebagai provider kesehatan tentu tidak boleh dirugikan. Demikian halnya dalam ketersediaan dana tentu tidak ada alasan bahwa dana belum ada atau habis karena semua penduduk telah membayar iuran (tidak ada kesehatan gratis). Karena itu dana yang terkumpul pun sangat banyak.
Boleh jadi pada tahun-tahun pertama terjadi euforia penduduk ingin merasakan pelayanan kesehatan baru.Tapi setelah sistem ini berjalan dengan baik, kemungkinan besar dalam satu tahun itu banyak penduduk yang tidak menggunakan dana jaminan kesehatannya atau sangat minim menggunakannya karena ia rajin menjaga kesehatan (tidak sakit). Apalagi kalau dokter dan para profesional kesehatan telah mengedepankan pelayanan promotif melalui edukasi kesehatan dan preventif, tentu makin sedikit yang sakit dan makin banyak dana yang tidak terpakai untuk pelayanan kuratif (pengobatan).
Karena itu, semakin banyak pula potensi dana sosial yang bisa digunakan sebesar-besarnya untuk mempertinggi derajat kesehatan rakyat Indonesia. Bahkan,tidak ada salahnya memberi insentif bagi dokter dan profesional kesehatan di pelayanan primer yang paling efisien menggunakan dana karena telah berhasil menyehatkan penduduk melalui program promotif dan preventifnya. ***
Dalam era baru pelayanan dan jaminan sosial nasional kesehatan, dokter dan profesional kesehatan tak mungkin lagi menentukan sendiri tarif pelayanan yang diberikan kepada pasien.Apalagi meminta bayaran di luar yang telah ditetapkan, sebab ia bisa ditegur oleh pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja atau rumah sakit itu sendiri yang ditegur oleh BPJS atas nama pasien.
UU SJSN dan UU BPJS juga mengatakan bahwa BPJS melakukan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan, bukan dengan pribadi-pribadi dokter. Meski yang menandatangani kontrak adalah seorang dokter, ia bertindak dalam kedudukannya sebagai wakil dari pemilik institusi fasilitas kesehatan/ rumah sakit. Dalam situasi seperti itu, kita harus bersama-sama mencari jalan keluar terbaik.
Dalam arti,baik bagi dokter Indonesia maupun bagi rakyat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan UU No 29 tentang Praktik Kedokteran, IDI adalah satu-satunya organisasi para dokter di Indonesia dengan segala kewenangan yang diberikan kepadanya oleh undangundang. Posisi dan kewenangan IDI tersebut tentu merupakan kekuatan besar bila pengurus IDI dan dokter Indonesia tahu dan mampu menggunakannya secara tepat,benar,dan baik.
Kekuatan lain yang seharusnya perlu dipikirkan adalah bagaimana agar dokter Indonesia bisa menjadi pemilikpemilik fasilitas kesehatan (mulai dari klinik sampai rumah sakit). Dokter Indonesia jangan hanya berpikir menjadi dokter atau menjadi dokter ahli dan setelah lulus kemudian bekerja di rumah sakit besar lalu menjadi mesin pencari uang para pemilik rumah sakit.
Kenapa dokter Indonesia tidak berpikir untuk menjadi pemilik jejaring fasilitas kesehatan dan bekerja di jejaring fasilitas milik sendiri sebelum semua jejaring yang bak “pukat harimau” itu dikuasai pihak lain? Selain itu,kenapa pula dokter Indonesia (dokter umum dan dokter spesialis) tidak bekerja secara berkolaborasi sebagaimana halnya klinik-klinik pelayanan primer dibuat berkolaborasi dan berjejaring dengan rumah sakit-rumah sakit yang semuanya milik bersama dokter Indonesia?
Tentu saja mimpi-mimpi di atas tidak mudah diwujudkan. Apalagi semua orang tahu, sudah terlalu lama sikap individualisme mengikis jiwa dan pikiran kebersamaan dokter Indonesia. Walau pasti masih banyak yang tetap berusaha mempertahankan semangat kebersamaan dalam suasana kesejawatan, yang perlu dibangun bukan sekadar perasaan sejawat, tetapi juga bagaimana membangun semangat kebersamaan dan kepemilikan fasilitas pelayanan kesehatan bersama.
Juga bagaimana agar dokter Indonesia dapat berpraktik berjejaring dalam semangat kepemilikan bersama ini. Karena itu melalui tulisan ini penulis mengajak dokter dan para profesional kesehatan Indonesia untuk kembali memikirkan praktik berjejaring, berkolaborasi, bersatu di dalam prinsip-prinsip koperasi.Koperasi adalah warisan luhur bangsa Indonesia dan tertera dengan jelas di dalam konstitusi negara.
Pendanaan dan konsep kepemilikan bersama fasilitas pelayanan kesehatan seharusnya dapat difasilitasi dan ditumbuhkembangkan di bawah koperasi milik dokter Indonesia. yakni Primer Koperasi IDI. Koperasi IDI yang berdiri sejak 2001 itu bukanlah institusi yang tertutup, sebagaimana koperasi pada umumnya. Karena itu,seharusnya mereka bisa bekerja sama dengan lembaga keuangan lain yang memiliki semangat yang sama, yakni mengakomodasi semangat kolektivitas dan kesejawatan profesional kesehatan.
Bahkan lebih dari itu, seandainya dokter-dokter Indonesia yang berjumlah 100.000 ini “mau bersatu”,menyimpan dana, anggaplah Rp20.000 per bulan, maka dalam setahun terkumpul Rp24 miliar. Modal sebesar ini bila dikelola dengan baik dapat untuk membangun jejaring klinik pelayanan primer milik bersama dokter Indonesia. Penulis sangat yakin bahwa di masa depan, dokter Indonesia bisa menjadi dokter-dokter mandiri, bekerja di fasilitas milik sendiri.
Konsep kepemilikan bersama yang difasilitasi koperasi akan sangat berbeda dengan kepemilikan pribadi yang cenderung dikelola dalam kerangka bisnis semata, yang menempatkan pasien sebagai objek bisnis. Sebagai ilustrasi, pada suatu waktu terjadi selisih paham antara pemimpin China, Mao,dengan pemimpin Soviet.
Perselisihan makin panas hingga Pemerintah Soviet mengeluarkan pernyataan; “Meskipun rakyat China harus berbagi 1 celana dalam untuk 2 orang, China tetap saja tidak akan mampu membayar utangnya.” Pernyataan tersebut sangat menyinggung perasaan pemimpin China. Lalu Mao menyampaikan penghinaan itu kepada rakyatnya secara terus-menerus ke seluruh penjuru negeri sambil mengajak rakyat untuk bangkit dan melawan dengan cara berkorban.
Mao mengajak rakyatnya “menyisihkan sebutir beras untuk China”. Hanya sebutir beras setiap anggota keluarga setiap kali mereka akan memasak. Ketika itu penduduk China berjumlah 1 miliar jiwa. Alhasil dalam waktu cepat,terkumpul banyak sekali butiranbutiran beras yang siap dijual untuk digunakan membayar utang kepada pemberi utang yang menghinanya.
Fenomena sebutir beras di atas hanya bisa terkumpul karena konsolidasi yang terusmenerus dari seorang pemimpin yang kemudian menumbuhkan semangat kebersamaan dan rasa nasionalisme akibat adanya penghinaan.Saya yakin dokter Indonesia pun dapat memupuk rasa kebersamaan dalam gerakan berkoperasi, mengumpulkan dana untuk kepentingan mereka sendiri, meski tidak harus mengalami penghinaan sebagaimana yang dirasakan rakyat China.
Karena itu membangun kepemilikan bersama dalam jejaring fasilitas kesehatan adalah salah satu upaya dokter Indonesia untuk bisa keluar dari kemungkinan terhimpit oleh sejumlah kekuatan besar. Atau paling tidak sebagai upaya memperbaiki posisinya agar bisa setara dengan kekuatan besar yang ada.Wallahu a’lam bissawab. Selamat HUT IDI. ZAENAL ABIDIN Ketua Umum Terpilih PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI)