Sudah lama kejadiannya. Saat itu saya masih jaga di klinik 24 jam di Caringin, Sukabumi. Kira-kira jam 10 malam, seorang pasien digotong masuk ke klinik. Seorang ibu muda berusia kurang lebih 28 tahunan. Tidak sadar, setelah mobil angkot yang ia tumpangi menabrak kendaraan didepannya. Korban lain tidak ada, hanya ibu ini yang memang duduk di muka, di samping pak supir yang sedang bekerja (kaya lagu naik delman ya?)
Setelah dibaringkan di bed periksa dan terpasang O2 kanul 3 liter, saya memeriksa si ibu, yang mirip Evi Tamala, penyanyi dangdut dokter cinta itu. Dari aloanamnesa dengan penumpang lain yang mengantarnya, saya menyimpulkan tabrakan tidak keras dan tidak mengenai langsung bagian tubuh si ibu. Pemeriksaan fisik juga tidak memperlihatkan jejas cedera ataupun tanda lain yang mencurigakan. Tanda vital semua OK, hanya si ibu belum juga membuka mata atau merespon rangsangan, termasuk rangsang nyeri yang saya berikan. Ya sudah saya observasi dulu sambil terus berusaha membangunkan atau membuat si ibu sadar.
Sampai hampir setengah jam kemudian ternyata si ibu Tamala ini belum juga sadar. Waduh, bingung juga saya. Pikiran saya mulai tidak tentu dengan banyak lintasan kata jangan-jangan... Jangan-jangan..
Pas di saat itu datanglah ide yang agak konyol. say dengan suara ditegas-tegaskan minta suster mengambil spuit (suntikan) dan walau tidak jelas betul si ibu ini dengar atau tidak saya katakan kepadanya, "Bu, saya suntik ya?" sambil melintas-lintaskan suntikan di depan matanya.
Ajaib! Laksana adegan artis bangun dari mimpi buruk di sinetron-sinetron (tergambar kan?), mak jenggirat Bu Evi Tamala ini bangkit dan menangis!...
Kamipun lega, mengakhiri scene adegan histerical reaction (malingering) ini.
Pengalaman berharga ini kelak terbukti sukses saya terapkan untuk kasus serupa. Boleh dicoba kok...