Menuju puncak sembilan detik yang sempurna
“Door” suara pistol juri melengking tinggi di angkasa Beijing tempat olimpiade dunia. Para pelari unggul dari berbagai dunia memacu otot-otot paha, tungkai bawah dan kakinya untuk menunjukkan siapa yang bakal mendapatkan gelar manusia tercepat di dunia di awal abad milenium ketiga.
Dan sang juara telah mencapai finish. Seratus meter ditempuh dalam sembilan koma tujuh detik, Bolt pelari dari negeri Jamaika, telah melakukannya. Dialah manusia tercepat di bumi saat ini. Bagaimana rahasia Bolt bisa menghasilkan prestasi yang luar biasa ini. Ternyata setelah dirunut ke belakang, si Bolt kecil yang berusia empat tahun itu telah dilatih ayahnya untuk menggenjot latihan sebagai sprinter. Luar biasa.
Ternyata Bolt yang memulai latihan olah raga yang menjadi spesialisasinya tidak sendiri. Atlet lain seperti David Beckham di dunia sepak bola juga telah digembleng ayahnya sejak usia empat tahunan. Kenyataan ini telah didukung penelitian ekstensif yang meneliti orang-orang yang berprestasi luar biasa seperti para olah ragawan juara dunia. Yang luar biasa adalah hasil penelitian itu mendapatkan hasil yang serupa. Mereka yang prestasinya tingkat dunia, mulai intensif melatih diri sejak usia dini di bawah enam tahun. Mereka yang prestasinya sampai di tingkat nasional memulai latihan intensif di usia yang lebih tua, demikian juga yang berprestasi di tingkat bawahnya pun juga memulai latihan intensif dalam usia yang lebih tua lagi.
Ulama besar kita seperti Imam Syafii, tidak saja disiplin belajarnya yang tinggi, tetapi juga memulai belajar sejak usia dini. Beliau hafidz (hafal di luar kepala) Al-qur’an pada usia yang sangat dini di usia tujuh tahun. Bahkan karakter ulama telah terbentuk jauh sebelum Imam Syafii lahir. Karakter kesholihan orang tua sang Imam unggul dari kebanyakan orang. Dikisahkan, ayah Imam Syafii, sedang lapar dan haus setelah menempuh perjalanan, di suatu sungai beliau menemukan sebiji buah apel. Karena hanya apel yang hanyut di sungai, langsung saja beliau makan apel itu. Baru separuh beliau makan, beliau memandang dari jauh tampak kebun apel dan sebuah rumah. Beliau menghentikan makan buah apel itu, serta merta berjalan menuju rumah dengan kebun apel, dimana sungai yang berjalan dari rumah dan kebun apel itu dengan sungai tempat beliau menemukan buah apel itu, masih sungai yang sama. Setelah bertemu dengan si pemilik rumah dan kebun apel, ayah Imam Syafii ini meminta maaf karena memakan buah apel tidak meminta izin kepada yang memiliki. Mengetahui ada seorang pemuda yang jujur seperti itu, segera si pemilik menikahkannya dengan anak gadisnya. Dan dari pernikahan itu lahirlah Imam Syafii.
Pembaca yang budiman, memperoleh puncak kesempurnaan ibadah di bulan Romadhon yang hanya di sepuluh hari terakhir, sama dengan prestasi Bolt maupun atlet atau orang-orang bertalenta kualitas dunia, dia butuh proses dan kedisiplinan yang sama. Sama pula dengan proses terbentuknya karakter luhur dari sang Imam Syafii. Puncak sepuluh hari terakhir adalah buah perjuangan spiritual beberapa bulan bahkan beberapa tahun sebelumnya. Hari ini masih belum terlambat. Masih ada banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Meningkatkan kualitas ruhiyah kita. Menuju sepuluh hari yang bernilai, melebihi panjangnya usia biologis kita.
Terima kasih jazakumullah khoiron katsiiro pada Ukhti Lya, instruktur olah raga yang bercerita tentang Bolt, sang Juara dunia lari seratus meter pria.
Wallaahua’lam